Senin, 28 Januari 2013

Forever in Seoul part 3


Sudah dua hari aku bekerja kembali semenjak aku jatuh sakit. Rio masih tetap menelponku, tapi tetap tidak aku angkat. Aku izin untuk tidak kuliah karena hari ini aku sangat lelah, semenjak aku sudah di pindahkan menjadi seles promotor. Aku kembali ke kosan saat sore menjelang malam. Aku terkejut saat mendapatkan Eri duduk di sebelah kamarku.
“ngapain kamu disini?” aku langsung menuju pintu kamar
“ada yang mau aku omongin”
“apa lagi?”
“apa kamu udah bisa ngasih aku kesempatan lagi?”
Aku membalikkan tubuhku dan menatapnya, “ga jelas kata-kata aku waktu itu?”
“kasih aku satu jane, aku bisa memperbaiki ini semua. Sikap kamu ini membuatku merasa bersalah”
“loh?! kamu memang pantas mendapatkan perasaan itu”
“jane… please”
“ini terakhir kali aku bilang sama kamu ri. Aku udah ga punya perasaan apapun sama kamu, dan aku ga akan ngasih kamu kesempatan. Lebih baik kamu kembali ke Gita.” Jawabku tegas, kini aku melihat matanya seperti menuntutku. Dia mendorong badanku ke pintu kamarku yang belum sempat aku buka. Eri memegang kedua tanganku, dan merapatkan tubuhnya kearahku. Aku meronta hebat saat dia seperti ingin menciumku.
“Eri! Lepasiin!” permintaanku sepertinya tidak ia gubris. Dia tetap memajukan wajahnya, aku semakin berusaha untuk melepaskan cengkraman tangannya yang begitu kuat.
“Erii! Arghk!” tanganku begitu sakit. Kini jarak kami sudah sangat dekat aku memalingkan wajahku. Sekilas Aku melihat Rio di balik punggung Eri, tiba-tiba sebuah pukulan membuat Eri jatuh terkapar memegang wajahnya.
“oh, jadi lo yo?” kulihat eri bangkit kembali dengan emosi yang membara dan berusaha menghajar Rio yang kini berdiri menghalangiku. Tapi ternyata Eri terlalu lambat, rio berhasil memukulnya untuk yang kedua kali, dan lagi lagi dia jatuh terkapar. Tapi kini dengan darah yang keluar dari bibirnya.
“jangan pernah deketin apalagi nyakitin dia lagi! ”
"Jadi sekarang lo sama jane?"
"Iya, jane calon istri gue." Aku tersentak saat rio mengatakannya, jantungku berdebar tak karuan. Walaupun aku tau ini hanya gertakan rio semata.
"Oohh.. Jadi ini jane, alasan kamu ga ngasih aku kesempatan? Kamu mau nikah sama laki-laki ini?!" Kini aku terlalu takut untuk menjawab Eri.
"Gue harap lo bisa pergi dari sini" sahut rio, kulihat eri yang sudah bangkit berdiri, kini hendak menghampiriku. Tapi tangan rio memundurkan langkahnya.
"Oke, gue pergi" Eri memasang tatapan marah ke rio saat dia hendak pergi dari sini, sekarang aku yang takut jika rio kenapa-kenapa diluar sana. Rio membalikan tubuhnya dan menatapku.
“kamu ga apa-apa?” nafasku semakin memburu, sepertinya asmaku mulai kumat. Aku gemetaran mencari ventolin di tasku, rio ikut membantuku duduk dan mencari kedalam tasku. Tak lama aku menemukan benda itu sebelum nafasku habis. Aku menghirupnya dalam-dalam, beberapa menit kemudian asmaku mereda. Kini aku bisa menatap Rio dengan jelas di hadapanku bersiku.
“kamu kenapa ga ngasih aku kabar? Kamu beberapa hari yang lalu dirawat kan?”
“kok tau?” aku menerka-nerka darimana dia tahu aku dirawat.
“kenapa telepon aku ga kamu angkat?”
"Tau dari mana aku sakit?"
"Kantormu"
"Trus, tau darimana aku tinggal disini?"
"Kantormu, sekarang jawab pertanyaanku. Kenapa telpon ku ga pernah kamu angkat?" Kini aku bingung menjawab pertanyaannya. Aku mencari-cari alasan agar tidak terkesan membohonginya.
"Kan aku sakit, aku ga bisa pegang hp dulu. Eh, tau dari mana kantorku?"
“kamu kan pernah cerita, makanya waktu kamu ga ada kabar aku langsung samperin ke kantormu.Kemarin kamu udah sembuh, kenapa ga di angkat?"
"Aku sibuk, lagi presentasi" kini Rio terlihat percaya padaku. Dia duduk di sebelahku, aku meliriknya. Matanya memandang kedepan dengan kosong, tapi pikirannya tampak terlihat ada beban.
"Gimana acara pertunanganmu dengan oliv?"
“hm? lancar" sepertinya aku menanyakan hal bodoh, jawaban Rio seakan mengingatkanku pada hancurnya harapanku padanya. Ditambah dia sedang memutar-mutar cincin yang bermatakan 3 berlian, di jari manisnya. Membuat aku iri setengah mati dengan Olivia.
"Ada yang mau kamu ceritain? Bukannya aku sok tahu, tapi kayaknya kamu lagi ada masalah"
"Emangnya kelihatan jelas?" Aku mengangguk
"Haha, ternyata aku ga pandai menyimpan masalah. Boleh aku tanya sesuatu sama kamu?" Aku mengangguk sekali lagi
"Apa yang akan kamu lakukan, jika orang yang kamu cintai. Lebih memilih orang lain, dibanding kamu?" Pertanyaan Rio seperti dua pisau sekaligus menusuk hatiku. Dia menanyakan ini karena aku pernah melewatinya saat aku sakit dengan Eri. Tapi juga pertanyaannya tepat seperti apa yang aku rasakan padanya saat dia bertunangan dengan oliv.
"Jane," dia membuyarkan lamunanku.
"Merelakannya" jawabku tanpa memandangnya.
"Setelah itu?"
Kini aku mulai menatapnya, "Mencoba melupakannya"
"Kalo ga bisa?"
"Anggap saja itu kenangan manis kamu bisa bertemu dengannya" mendengar jawabanku Rio mengembangkan senyum padaku membuatku ikut tersenyum padanya. Entah kenapa hatiku kembali luluh saat aku melihat rio kembali, dan menyesal karena aku telah menyuruh vita untuk membakar foto-fotonya.
“kenapa kamu Tanya hal itu?”
“nggak apa-apa, lagi kepikiran aja sama seseorang”
“siapa? Oliv?”
“hahaha…Ada deh mau tau aja…” jawaban Rio membuatku semakin penasaran, ada apa yang dengannya? Apa dia sedang bermasalah dengan oliv?
"Trimakasih ya" ungkapku pada Rio
"Untuk?"
"Menghajar Eri" rio terbahak mendengar jawabanku
"Haha dengan senang hati.."
Kami tertawa bersama, sore ini adalah sore yang mendebarkan bagiku, mungkin juga bagi rio. Tapi aku juga sadar sepertinya agak susah saat ini untuk mulai melupakannya.

Hari ini mata kuliah pak robi ditiadakan, berhubung beliau sedang ada rapat. Anak-anak begitu girang karena bisa pulang dengan cepat. Tapi tidak denganku, aku sama sekali tidak ingin pulang cepat, entah kenapa mood ku benar-benar tidak mau di kosan. Lebih baik aku menghampiri vita yang barusan menghubungiku kalau sekarang dia berada di comik cafe.
Aku menghampiri vita yang sedang membaca salah satu komik dari beberapa tumpukan yang dia bawa ke meja.
"Hei" sapaku
“Eh?! Kok lo disini?”
"Ga boleh?"
"Ngga" jawabnya sebelum aku memesan banana split dan jus mangga pada pelayan. Aku melihat vita yang celingukkan melihat kearah belakangku, membuat aku penasaran apa yang sedang dia lihat.
"Lo liat apaan sih?!"
"Ssttt.. Diem" aku menoleh lagi untuk yang kedua kalinya, sepintas aku melihat yusuf yang sedang duduk dan membaca komik di pojokkan, jauh dari meja kami.
"Ooo.. Jadi lo kesini cuma mau ngeliatin dia? Percuma, lo liatin juga ga bakal balik lagi tuh orang, samperin giih.."
"Gila lo?! Gue tuh ga sengaja ketemu dia, udah lo diem aje. Cuma kayak gini nih gue bisa menghilangkan rasa kangen gue ke dia"
"Eh, gue kasih tau ya. Dia itu lagi nunggu cewek"
"Hah?! Yang bener lo? Siapa?" Mukanya begitu panik
"Gue! Hahaha" Sontak vita kesal dan memukulku dengan komik yang sedang dia pegang.
"Rese lo jane! Bikin jantungan aja!"
"Haha, makanya buruan samperin, dari pada lo sakit hati ngeliat dia di samperin cewe lain. Hahaha"
"Iiih jangan dong"
"Makanya samperin, atau gue nih yang samperin?!"
"Janee!!" Vita memukulku lagi, membuat aku berteriak, entah karena mendengar suaraku atau apa, vita langsung terdiam.
"Lo kenapa?haha" kini dia terlihat takut di hadapanku. Dia tidak menjawab pertanyaanku, tapi bola matanya seperti mengisyaratkan sesuatu. Aku tidak yakin dengan isyaratnya, membuat aku menoleh kebelakang dan aku terkejut saat melihat yusuf berjalan menghampiri meja kami. Pantas saja anak ini tiba-tiba menjadi batu.
"Hei, kalian disini juga?" Kulihat vita sepertinya masih mempersiapkan mental untuk berbicara dengan yusuf. Karena terlalu lama, akhirnya aku menjawabnya.
"Iya, lo dari kapan cup disini?"
"Dari tadi sih, boleh gabung?" Kini aku menatap vita yang masih diam seperti tak bernyawa.
"Emm.. Bo..leh, boleh.." Kurasakan kakiku diinjak dengan kuat, aku meringis menahannya.
"Apa kabar kalian?" Tanya yusuf yang kini duduk diantara aku dan vita.
"Baik" jawabku cepat, tapi tidak dengan vita.
"Tapi ga tau deh tuh vita, kayaknya lagi sakit. Kena serangan jantung.. Auuww!" Vita kini menginjakku lebih keras.
"Gue baik kok.." Jawabnya tanpa melihat ke yusuf.
Sesaat setelah vita menjawab ponselku berdering, membuat getaran diantara keheningan yg menyusup diantara kami. Saat ku lihat layar ponselnya ternyata Rio. Kini aku yang terkena serangan jantung melihat layar ponselku sendiri. Bergegas aku mengangkatnya sebelum menjadi panggilan tak terjawab. Suara diseberang sana terdengar parau, dan seperti kesakitan. Karena tak jelas aku meninggalkan vita dan yusuf untuk mencari tempat yang sunyi, dan kulihat vita nampak tak ingin jika aku beranjak meninggalkannya.
"Halo.. Haloo.. Rio, suara kamu ga jelas"
"Ha..lo.. Janee.. Arghh" jawabnya terdengar menahan sakit
"Rio kamu kenapa?"
"Kamu bi..sa kekantor ku sekarang?" Kini aku seperti terkena serangan panik. Takut hal yang buruk telah menimpa Rio. Aku mengiyakan , dan langsung bergegas mengambil tas. Dan berpamitan pada vita dan yusuf.
Dijalan aku tidak konsen sama sekali, lagi pula malam-malam begini sedang apa dia dikantornya? Sesaat setelah aku memarkirkan motorku, aku berlari secepat mungkin kedalam kantor. Seisi kantor ini membuatku kembali teringat pada semua kenangan yang sudah aku tinggalkan. Ternyata ingatanku masih bekerja dalam situasi seperti ini, aku membuka pintu ruangan asisten GM di lantai 2. Kudapati rio terkapar disamping meja kerjanya yg tak lagi rapi. Ku lihat sekeliling kantornya berantakan. Aku menghampirinya, dan jantungku tercekat saat melihat wajahnya yang hampir semuanya berlumuran darah, lengan kemejanya sobek, darah segar menetes di bibirnya. Reflek aku teriak minta tolong, tapi sepertinya aku bodoh jika terus teriak di tempat sepi seperti ini. Akhirnya aku menelpon ruangan security yang tertera di meja kerja Rio dan setelah itu menelpon ambulance.
 Hanya dalam 15 menit ambulance tiba, dan para security membopong Rio yang terkapar lemas tak berdaya itu memasuki ambulance. Tak sadar air mataku mengalir dan sepertinya tak bisa berhenti sampai Rio sadar. Aku tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi dengannya, tapi tampaknya ini seperti pengeroyokan. Siapa yang mempunyai masalah dengan Rio, karena begitu banyak rekan-rekannya dan tak bisa kukenali satu persatu.
Sudah hampir 1 jam semenjak rio masuk IGD. Aku menunggu di pintu keluar ruang perawatan. Duduk dan tidak bisa mendiamkan kakiku yang sejak aku duduk bergetar, aku sudah menelpon Vita, agar ia bisa menemaniku disini. Ku lihat dokter keluar dari ruangan,
"Gimana dok?"
"Syukurlah, sebentar lagi pulih. Ada 2 jahitan di wajahnya bagian rahang dan dekat dengan pelipis. Untungnya tidak terlalu dalam, karena itu bisa berakibat fatal."
Seketika aku menarik nafas lega, tapi belum bisa tenang. Tak lama vita datang dengan yusuf, menghampiriku. Aku menghambur ke pelukan vita dan kuceritakan semua yang barusan menimpa Rio.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar