Sudah dua hari aku bekerja kembali semenjak
aku jatuh sakit. Rio masih tetap menelponku, tapi tetap tidak aku angkat. Aku
izin untuk tidak kuliah karena hari ini aku sangat lelah, semenjak aku sudah di
pindahkan menjadi seles promotor. Aku kembali ke kosan saat sore menjelang
malam. Aku terkejut saat mendapatkan Eri duduk di sebelah kamarku.
“ngapain kamu disini?” aku langsung menuju
pintu kamar
“ada yang mau aku omongin”
“apa lagi?”
“apa kamu udah bisa ngasih aku kesempatan
lagi?”
Aku membalikkan tubuhku dan menatapnya, “ga
jelas kata-kata aku waktu itu?”
“kasih aku satu jane, aku bisa memperbaiki
ini semua. Sikap kamu ini membuatku merasa bersalah”
“loh?! kamu memang pantas mendapatkan
perasaan itu”
“jane… please”
“ini terakhir kali aku bilang sama kamu ri.
Aku udah ga punya perasaan apapun sama kamu, dan aku ga akan ngasih kamu
kesempatan. Lebih baik kamu kembali ke Gita.” Jawabku tegas, kini aku melihat
matanya seperti menuntutku. Dia mendorong badanku ke pintu kamarku yang belum
sempat aku buka. Eri memegang kedua tanganku, dan merapatkan tubuhnya kearahku.
Aku meronta hebat saat dia seperti ingin menciumku.
“Eri! Lepasiin!” permintaanku sepertinya
tidak ia gubris. Dia tetap memajukan wajahnya, aku semakin berusaha untuk
melepaskan cengkraman tangannya yang begitu kuat.
“Erii! Arghk!” tanganku begitu sakit. Kini
jarak kami sudah sangat dekat aku memalingkan wajahku. Sekilas Aku melihat Rio
di balik punggung Eri, tiba-tiba sebuah pukulan membuat Eri jatuh terkapar
memegang wajahnya.
“oh, jadi lo yo?” kulihat eri bangkit
kembali dengan emosi yang membara dan berusaha menghajar Rio yang kini berdiri
menghalangiku. Tapi ternyata Eri terlalu lambat, rio berhasil memukulnya untuk
yang kedua kali, dan lagi lagi dia jatuh terkapar. Tapi kini dengan darah yang
keluar dari bibirnya.
“jangan pernah deketin apalagi nyakitin dia
lagi! ”
"Jadi sekarang lo sama jane?"
"Iya, jane calon istri gue." Aku
tersentak saat rio mengatakannya, jantungku berdebar tak karuan. Walaupun aku
tau ini hanya gertakan rio semata.
"Oohh.. Jadi ini jane, alasan kamu ga
ngasih aku kesempatan? Kamu mau nikah sama laki-laki ini?!" Kini aku
terlalu takut untuk menjawab Eri.
"Gue harap lo bisa pergi dari
sini" sahut rio, kulihat eri yang sudah bangkit berdiri, kini hendak
menghampiriku. Tapi tangan rio memundurkan langkahnya.
"Oke, gue pergi" Eri memasang
tatapan marah ke rio saat dia hendak pergi dari sini, sekarang aku yang takut
jika rio kenapa-kenapa diluar sana. Rio membalikan tubuhnya dan menatapku.
“kamu ga apa-apa?” nafasku semakin memburu,
sepertinya asmaku mulai kumat. Aku gemetaran mencari ventolin di tasku, rio
ikut membantuku duduk dan mencari kedalam tasku. Tak lama aku menemukan benda
itu sebelum nafasku habis. Aku menghirupnya dalam-dalam, beberapa menit
kemudian asmaku mereda. Kini aku bisa menatap Rio dengan jelas di hadapanku
bersiku.
“kamu kenapa ga ngasih aku kabar? Kamu
beberapa hari yang lalu dirawat kan?”
“kok tau?” aku menerka-nerka darimana dia
tahu aku dirawat.
“kenapa telepon aku ga kamu angkat?”
"Tau dari mana aku sakit?"
"Kantormu"
"Trus, tau darimana aku tinggal
disini?"
"Kantormu, sekarang jawab
pertanyaanku. Kenapa telpon ku ga pernah kamu angkat?" Kini aku bingung
menjawab pertanyaannya. Aku mencari-cari alasan agar tidak terkesan
membohonginya.
"Kan aku sakit, aku ga bisa pegang hp
dulu. Eh, tau dari mana kantorku?"
“kamu kan pernah cerita, makanya waktu kamu
ga ada kabar aku langsung samperin ke kantormu.Kemarin kamu udah sembuh, kenapa
ga di angkat?"
"Aku sibuk, lagi presentasi" kini
Rio terlihat percaya padaku. Dia duduk di sebelahku, aku meliriknya. Matanya
memandang kedepan dengan kosong, tapi pikirannya tampak terlihat ada beban.
"Gimana acara pertunanganmu dengan
oliv?"
“hm? lancar" sepertinya aku menanyakan
hal bodoh, jawaban Rio seakan mengingatkanku pada hancurnya harapanku padanya. Ditambah
dia sedang memutar-mutar cincin yang bermatakan 3 berlian, di jari manisnya.
Membuat aku iri setengah mati dengan Olivia.
"Ada yang mau kamu ceritain? Bukannya
aku sok tahu, tapi kayaknya kamu lagi ada masalah"
"Emangnya kelihatan jelas?" Aku
mengangguk
"Haha, ternyata aku ga pandai
menyimpan masalah. Boleh aku tanya sesuatu sama kamu?" Aku mengangguk
sekali lagi
"Apa yang akan kamu lakukan, jika
orang yang kamu cintai. Lebih memilih orang lain, dibanding kamu?"
Pertanyaan Rio seperti dua pisau sekaligus menusuk hatiku. Dia menanyakan ini
karena aku pernah melewatinya saat aku sakit dengan Eri. Tapi juga pertanyaannya
tepat seperti apa yang aku rasakan padanya saat dia bertunangan dengan oliv.
"Jane," dia membuyarkan
lamunanku.
"Merelakannya" jawabku tanpa
memandangnya.
"Setelah itu?"
Kini aku mulai menatapnya, "Mencoba
melupakannya"
"Kalo ga bisa?"
"Anggap saja itu kenangan manis kamu
bisa bertemu dengannya" mendengar jawabanku Rio mengembangkan senyum
padaku membuatku ikut tersenyum padanya. Entah kenapa hatiku kembali luluh saat
aku melihat rio kembali, dan menyesal karena aku telah menyuruh vita untuk
membakar foto-fotonya.
“kenapa kamu Tanya hal itu?”
“nggak apa-apa, lagi kepikiran aja sama
seseorang”
“siapa? Oliv?”
“hahaha…Ada deh mau tau aja…” jawaban Rio
membuatku semakin penasaran, ada apa yang dengannya? Apa dia sedang bermasalah
dengan oliv?
"Trimakasih ya" ungkapku pada Rio
"Untuk?"
"Menghajar Eri" rio terbahak
mendengar jawabanku
"Haha dengan senang hati.."
Kami tertawa bersama, sore ini adalah sore
yang mendebarkan bagiku, mungkin juga bagi rio. Tapi aku juga sadar sepertinya
agak susah saat ini untuk mulai melupakannya.
Hari ini mata kuliah pak robi ditiadakan,
berhubung beliau sedang ada rapat. Anak-anak begitu girang karena bisa pulang
dengan cepat. Tapi tidak denganku, aku sama sekali tidak ingin pulang cepat,
entah kenapa mood ku benar-benar tidak mau di kosan. Lebih baik aku menghampiri
vita yang barusan menghubungiku kalau sekarang dia berada di comik cafe.
Aku menghampiri vita yang sedang membaca
salah satu komik dari beberapa tumpukan yang dia bawa ke meja.
"Hei" sapaku
“Eh?! Kok lo disini?”
"Ga boleh?"
"Ngga" jawabnya sebelum aku
memesan banana split dan jus mangga pada pelayan. Aku melihat vita yang
celingukkan melihat kearah belakangku, membuat aku penasaran apa yang sedang
dia lihat.
"Lo liat apaan sih?!"
"Ssttt.. Diem" aku menoleh lagi
untuk yang kedua kalinya, sepintas aku melihat yusuf yang sedang duduk dan
membaca komik di pojokkan, jauh dari meja kami.
"Ooo.. Jadi lo kesini cuma mau
ngeliatin dia? Percuma, lo liatin juga ga bakal balik lagi tuh orang, samperin
giih.."
"Gila lo?! Gue tuh ga sengaja ketemu
dia, udah lo diem aje. Cuma kayak gini nih gue bisa menghilangkan rasa kangen
gue ke dia"
"Eh, gue kasih tau ya. Dia itu lagi
nunggu cewek"
"Hah?! Yang bener lo? Siapa?"
Mukanya begitu panik
"Gue! Hahaha" Sontak vita kesal
dan memukulku dengan komik yang sedang dia pegang.
"Rese lo jane! Bikin jantungan
aja!"
"Haha, makanya buruan samperin, dari
pada lo sakit hati ngeliat dia di samperin cewe lain. Hahaha"
"Iiih jangan dong"
"Makanya samperin, atau gue nih yang
samperin?!"
"Janee!!" Vita memukulku lagi,
membuat aku berteriak, entah karena mendengar suaraku atau apa, vita langsung
terdiam.
"Lo kenapa?haha" kini dia
terlihat takut di hadapanku. Dia tidak menjawab pertanyaanku, tapi bola matanya
seperti mengisyaratkan sesuatu. Aku tidak yakin dengan isyaratnya, membuat aku
menoleh kebelakang dan aku terkejut saat melihat yusuf berjalan menghampiri
meja kami. Pantas saja anak ini tiba-tiba menjadi batu.
"Hei, kalian disini juga?"
Kulihat vita sepertinya masih mempersiapkan mental untuk berbicara dengan
yusuf. Karena terlalu lama, akhirnya aku menjawabnya.
"Iya, lo dari kapan cup disini?"
"Dari tadi sih, boleh gabung?"
Kini aku menatap vita yang masih diam seperti tak bernyawa.
"Emm.. Bo..leh, boleh.."
Kurasakan kakiku diinjak dengan kuat, aku meringis menahannya.
"Apa kabar kalian?" Tanya yusuf
yang kini duduk diantara aku dan vita.
"Baik" jawabku cepat, tapi tidak
dengan vita.
"Tapi ga tau deh tuh vita, kayaknya
lagi sakit. Kena serangan jantung.. Auuww!" Vita kini menginjakku lebih
keras.
"Gue baik kok.." Jawabnya tanpa
melihat ke yusuf.
Sesaat setelah vita menjawab ponselku
berdering, membuat getaran diantara keheningan yg menyusup diantara kami. Saat
ku lihat layar ponselnya ternyata Rio. Kini aku yang terkena serangan jantung
melihat layar ponselku sendiri. Bergegas aku mengangkatnya sebelum menjadi
panggilan tak terjawab. Suara diseberang sana terdengar parau, dan seperti kesakitan.
Karena tak jelas aku meninggalkan vita dan yusuf untuk mencari tempat yang
sunyi, dan kulihat vita nampak tak ingin jika aku beranjak meninggalkannya.
"Halo.. Haloo.. Rio, suara kamu ga
jelas"
"Ha..lo.. Janee.. Arghh" jawabnya
terdengar menahan sakit
"Rio kamu kenapa?"
"Kamu bi..sa kekantor ku
sekarang?" Kini aku seperti terkena serangan panik. Takut hal yang buruk
telah menimpa Rio. Aku mengiyakan , dan langsung bergegas mengambil tas. Dan
berpamitan pada vita dan yusuf.
Dijalan aku tidak konsen sama sekali, lagi
pula malam-malam begini sedang apa dia dikantornya? Sesaat setelah aku
memarkirkan motorku, aku berlari secepat mungkin kedalam kantor. Seisi kantor
ini membuatku kembali teringat pada semua kenangan yang sudah aku tinggalkan.
Ternyata ingatanku masih bekerja dalam situasi seperti ini, aku membuka pintu
ruangan asisten GM di lantai 2. Kudapati rio terkapar disamping meja kerjanya
yg tak lagi rapi. Ku lihat sekeliling kantornya berantakan. Aku menghampirinya,
dan jantungku tercekat saat melihat wajahnya yang hampir semuanya berlumuran
darah, lengan kemejanya sobek, darah segar menetes di bibirnya. Reflek aku
teriak minta tolong, tapi sepertinya aku bodoh jika terus teriak di tempat sepi
seperti ini. Akhirnya aku menelpon ruangan security yang tertera di meja kerja
Rio dan setelah itu menelpon ambulance.
Hanya dalam 15 menit ambulance tiba, dan para
security membopong Rio yang terkapar lemas tak berdaya itu memasuki ambulance.
Tak sadar air mataku mengalir dan sepertinya tak bisa berhenti sampai Rio
sadar. Aku tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi dengannya, tapi tampaknya ini
seperti pengeroyokan. Siapa yang mempunyai masalah dengan Rio, karena begitu
banyak rekan-rekannya dan tak bisa kukenali satu persatu.
Sudah hampir 1 jam semenjak rio masuk IGD.
Aku menunggu di pintu keluar ruang perawatan. Duduk dan tidak bisa mendiamkan
kakiku yang sejak aku duduk bergetar, aku sudah menelpon Vita, agar ia bisa
menemaniku disini. Ku lihat dokter keluar dari ruangan,
"Gimana dok?"
"Syukurlah, sebentar lagi pulih. Ada 2
jahitan di wajahnya bagian rahang dan dekat dengan pelipis. Untungnya tidak
terlalu dalam, karena itu bisa berakibat fatal."
Seketika aku menarik nafas
lega, tapi belum bisa tenang. Tak lama vita datang dengan yusuf, menghampiriku.
Aku menghambur ke pelukan vita dan kuceritakan semua yang barusan menimpa Rio.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar