Minggu, 17 Februari 2013

Sang Hati pt2


     Yoga berlari sepanjang koridor sekolah untuk mengejar jam pelajaran ketiga yang sudah sekitar 10 menit berjalan. Ini pertama kalinya ia telat lagi sejak terakhir kali saat ia masih baru masuk SMA, saat itu Yoga memang masih masa penyesuaian diri karna SMPnya dulu hanya berjarak 5 menit dari rumah, sedangkan SMAnya butuh waktu 10 kali lipat dari saat itu. Jam tangan yang ia kenakan hanya membuatnya semakin panik setiap melirik, ia semakin sadar keterlambatannya kali ini sudah fatal.
KNOCK! KNOCK!
     Yoga mengetuk pintu kelasnya yang sudah tertutup, menandakan pelajaran sedang berlangsung. Hatinya sedikit berdegup lebih cepat karna efek berlari dan rasa bersalah. Guru kimia yang akrab di panggil Pak Ei membukakan pintu untuknya dan menyuruhnya masuk tanpa bertanya apapun, ia hanya mengisyaratkan untuk membahas hal ini nanti. Pak Ei memang di kenal sebagai guru yang ramah dan bisa di andalkan untuk kasus-kasus tertentu, makanya beliau merangkap sebagai penanggung jawab murid.
     Yoga menghela nafas berat saat sampai di kursinya yang terletak di pusat kelas, posisi yang tidak terlalu mencolok tapi stategis. Teman sebangkunya Kemal menyodorinya sebotol air mineral mini yang masih tersegel, lalu melanjutkan fokus pada materi yang di ajarkan Pak Ei. Kelasnya ini memang kelas yang bisa di sebut tidak biasa, segalanya hampir sempurna di kelas ini. Bahkan, tak ada keraguan lagi kalau nantinya kelas ini akan 100% lulus dengan nilai yang baik. Kadang, Yoga merasa ada yang kurang dari kelas yang di juluki Super A class ini, entah kedekatan atau hal-hal tentang masa SMA lain yang seharusnya ada di kelas-kelas lainnya. Kelas yang ia pimpin sejak satu setengah tahun yang lalu ini, yang memang di bentuk berdasarkan nilai dan peringkat dalam ujian kendali mutu per-6 bulan sekali ini, memang tidak memiliki kedekatan emosional seperti kelas-kelas pada umumnya. Mungkin di karenakan penghuni kelas yang memang kerap berganti setiap ada perubahan di peringkat 40 besar. Kadang ia merindukan masa-masanya di kelas 10 dulu, dimana selama setahun ia dan teman-teman sekelasnya saling peduli dan bersenang-senang di setiap harinya di sela-sela waktu belajar mereka. Semuanya memang berubah ketika masuk di tahun kedua SMA, sudah menjadi aturan umum bahwa sejak kelas 11 setiap 6 bulan sekali ada ujian dan peringat 40 besar akan di jadikan satu kelas unggulan. Tidak ada masalah sejauh ini, karena di SMA ini seluruh pengajaran satu angkatan di sama ratakan setiap kelasnya.
        “Yoga, bisa saya bicara dengan kamu di ruangan?” Pak Ei kembali membuyarkan pikiran Yoga yang baru saja terfokus setelah beberapa saat menenangkan diri.
     Pelajaran Kimia hari ini memakan 3 jam pelajaran dan karena keterlambatannya, hanya 10 menit terakhir yang berhasil ia tangkap di otaknya. Yoga bangkit dari kursinya dan bergegas menyusul Pak Ei yang sudah lebih dulu sampai di ruangan guru pembimbing. Ini bukan pertama kalinya Yoga masuk ke ruangan itu, karena tiap 3 bulan sekali ia datang untuk membantu Pak Ei mengontrol perkembangan kelas. Tapi kali ini rasanya beda, ia datang untuk membahas kesalahannya, yang berarti akan menguak sedikit tentang masalah yang sedang ia hadapi. Yoga bimbang sesaat begitu tangannya menggenggam gagang pintu ruangan Pak Ei, bagaimana menjelaskan soal Anis pada Pak Ei? Bagaimana menjelaskan bahwa seorang Devrayoga menjadi lalai karna hal cinta?
        “Permisi pak,” Katanya saat kakinya mulai menapak masuk ruangan yang gagang pintunya masih ia cengkram erat itu.
        “Duduk Yoga, saya mau bicara”
        “Ya pak, terima kasih”
        “Ada yang mau kamu ceritakan sama saya sebelum saya bertanya?” Yoga mengalihkan pandangannya dari mata Pak Ei, dahinya mulai berkerut-kerut bimbang.
        “Saya minta maaf karena terlambat di pelajaran bapak hari ini. Saya tidur sedikit terlalu larut tadi malam Pak”
     Pak Ei menatap Yoga dengan seksama sebelum akhirnya menghela nafas, membuat Yoga kembali menatapnya. Pak Ei mengeluarkan tablet pc miliknya dan memainkan jemari di atasnya sesaat, kemudian ia menunjukan sebuah video yang berdurasi 5 menit pada Yoga.
     Dalam video itu ada sosok Yoga yang berjalan menuju podium untuk berpidato mewakili seluruh murid di angkatannya saat upacara penerimaan murid baru dua setengah tahun yang lalu, wajahnya masih berseri-seri saat itu, menampakan rasa bangga dan bahagia yang bertaut jadi satu. Lalu video tersebut menampilkan dirinya di pidato setengah tahun yang lalu dalam acara do’a dan syukuran kenaikan kelas di angkatannya, dirinya yang sangat berwibawa tampil elegan dan cool dalam video itu.
     Pak Ei kembali menghela nafas dengan berat sambil menaruh kembali tablet pcnya di dalam laci, lalu menatap Yoga yang terlihat tidak mengerti. Pak Ei tersenyum separuh, lalu memberikan Yoga sebuah file holder yang berisi laporan-laporannya selama ini, Yoga mengerutkan dahinya dengan ekstrim, ia benar-benar bingung sekarang.
        “Kamu tau kenapa saya kasih unjuk kamu video tadi?” Kata Pak Ei sambil menatap kedalam mata Yoga, yang di tanya hanya menggeleng.
        “Saya itu bisa di bilang kagum sama sosok kamu dulu, begitu fresh, ceria, humble dan juga cerdas, buktinya kamu adalah peringkat pertama di ujian masuk. Dan ketika melihat kamu pidato saat itu, saya bisa di bilang ngefans sama kamu”
        “Dan jujur, setelah naik ke kelas 11 saya bisa melihat kamu itu memang sosok idola buat saya, kamu bisa memimpin teman-teman yang belum pernah kamu kenal dekat, tapi sekaligus memimpin diri kamu untuk bersikap di hadapan mereka. Saya merasa kok kamu itu keren sekali ya Yog?” Pak Ei terkekeh di tengah pembicaraannya, membuat Yoga yang tadinya bingung kini menjadi bersemu. Malu juga dirinya di kagumi sosok yang menjadi idola sebagian besar penghuni wanita di SMA ini. ia merasa dirinya bukan siapa-siapa di bandingkan Pak Ei dari segi apapun.
        “Bapak berlebihan…”
        “Lho engga, saya ini cuma mengatakan apa adanya, lagipula saya belum selesai. Saya semakin lama melihat Yoga yang saya kenal di kelas 10 ini menghilang secara perlahan tapi pasti, paling parahnya di kelas 12 sekarang ini. kamu sadar ga’ sih Yog, kalau kamu itu semakin kaku belakangan ini?”
        “Maksudnya pak? Saya kaku bagaimana?”
        “Yaaa, kaku macamnya kanebo kering, gitu. Semakin serius sekali kamu itu Yog, memang sih kamu jadi semakin adorable di kalangan wanita, tapi kok ya saya ngeliat kamu, saya yang jadi tertekan, begitu ya?”
     Yoga melongo kali ini, mendengar guru yang biasanya hanya memberikan support dan bersikap serba formal di hadapannya ini sekarang mengkritiknya dengan cara yang aneh.
        “Sa..saya kaku Pak? Eh? Gimana itu maksudnya? Saya kan bersikap sesuai aturan selama ini”
        “Iya sih… ah, sudahlah anggap saja itu pendapat saya pribadi, jangan di pikirkan lagi. Sekarang, saya mau tanya. Apa yang kamu lakukan sampai membuat kamu tidur larut tadi malam?”
        “Saya…” Yoga mengalihkan pandangannya dari Pak Ei lagi, kembali pada kebimbangan. Barusan ia sebenarnya sudah berbohong, mengatakan ia telat karna tidur terlalu larut, padahal ia tidur sejak jam 5 sore bahkan sampai melewatkan makan malam. Pikirannya yang penuh di yakini sebagai penyebab hibernasi dadakan ini.
     Yoga menghela nafasnya berat, benar kata orang, sekali kamu membuat sebuah kebohongan, kebohongan lain akan mengikuti. Mungkin sebaiknya ia jujur saja pada guru muda di hadapannya ini.
        “Sebenarnya, saya tidur lebih cepat kemarin Pak, saya tidur sejak sore sepulang pendalaman materi di sekolah. Tapi entah kenapa ketika saya bangun, saya sudah kesiangan Pak”
        “Waduh, kok bisa seperti itu? Memangnya ada yang sedang kamu pikirkan?”
     Yoga menatap Pak Ei dengan bimbang, ia harus menceritakan masalahnyakah pada guru ini atau tidak. Ini sudah minggu kedua Anis menghilang dan jumlah surayang di tujukan padanya sudah bertambah menjadi 10 saat ini. semuanya menjabarkan sebuah tempat yang tidak sama, Anis seperti berjalan, tapi tidak terarah, hanya menuliskan apa yang ia lihat mencolok saat itu.
        “Pa..pacar saya menghilang pak. Saya kepikiran dimana dia, udah dua minggu saya ga ketemu. Orang tuanya udah mau lapor polisi segala, saya jadi semakin panik kalo masalahnya harus ke polisi. Soalnya cuma saya yang di kabari sama dia, itupun lewat surat” Kata Yoga akhirnya, wajahnya kembali bersemu dan tatapannya tertunduk. Ada lega yang ikut membesit saat ia akhirnya memutuskan untuk membagi masalahnya dengan orang lain.
     Keheningan merayapi ruangan setelah Yoga mengatakan itu, dengan segan ia mengangkat pandangannya menatap Pak Ei yang kini mengerutkan dahinya sambil tertawa putu-putus.
        “Ya kamu cari aja dia ke sekolahnya Yog! Gitu aja kok bingung sih”
        “Oh, iya ya pak…” Yoga menyadari kebodohannya, selama ini ia terus mencari ke tempat-tempat yang sering mereka datangi ataupun tempat-tempat yang pernah Anis katakan ingin ia datangi, tapi ia lupa sama sekali untuk mengecek ke kampus gadis yang kini semakin ia yakini ia cintai tersebut.
     Yoga melangkahkan kakinya keluar ruangan Pak Ei setelah mendapat sedikit pencerahan tadi dan tentunya setelah berpamitan. Ia kembali kekelasnya yang kini ternyata sudah tinggal separuh karna sebagian muridnya migrasi ke kantin. Cukup lama ternyata ia berada di ruangan Pak Ei tadi.
     Kemal yang masih sibuk dengan ensiklopedi tentang tubuh yang sepertinya ia pinjam dari perpustakaan, menolehkan pandangannya ke Yoga. Memerhatikan orang yang kini sibuk mengeluarkan beberapa lembar kertas yang sudah sedikit lecek dari tasnya dan mulai mencoret-coret kertas dalam binder yang sudah lebih dulu di buka. Yoga begitu sibuk dengan pikirannya, sampai-sampai tak menyadari Kemal yang kini sudah mengambil alih beberapa surat yang berserakan itu dan membacanya.
        “Yog, lo lagi nyari seseorang?” Tanya Kemal setelah membaca 3 lembar kertas di tangannya.
        “Hah? Oh? Iya” Jawab Yoga yang kini mengobrak-abirik catatan teleponnya mencari nomer salah satu teman Anis yang di kenalnya, ia bahkan tak menyadari bahwa Kemal sedang menanyakan masalahnya.
        “Halo? Ini… ehm, ini… aduh ini siapa ya? Eh? Eh! Tunggu jang..” Yoga menatap ponselnya setengah terkejut, panggilannya tersambung saat dia baru saja mengingat-ingat nama si pemilik nomer dan karna kaget ia malah jadi lupa untuk membaca kontak yang terpampang di catatan telepon di hadapannya.
     Di sadarinya Kemal yang menatapnya lekat-lekat di sebelahnya, ia menyunggingkan sebuah seringaian aneh yang menunjukan sebuang cengiran dan rasa risih. Kemal mengambil ponsel dari tangan Yoga dan men-dial kembali nomer terkahir itu, lalu membaca nama kontak di buku catatan telepon milik Yoga. Setelah beberapa saat menunggu, panggilan itu tersambung dan Kemal mengutarakan maksud Yoga untuk menanyakan soal Anis sekaligus meminta maaf untuk penggilan yang sebelumnya. Yoga melongo menatap Kemal yang kini sudah melakukan panggilan pada nomer-nomer berikutnya yang tertera di buku catatan teleponnya dengan label ‘teman Cha-chan’.
     Bel berbunyi mengembalikan kesadaran Yoga, sekaligus menghentikan kegiatan Kemal untu sementara. Kemal memberikan ponsel kembali ke tangan Yoga dan mengubah posisi duduknya dari menghadap Yoga menjadi lurus ke depan. Yoga yang baru saja akan bertanya tentang kejadian tadi mengurungkan niatnya karna guru matematika kelas 12 yang terkenal kurang toleransi telah memasuki kelas.

     Pelajaran berlalu tanpa sedikitpun Yoga memahami materinya, ia hanya mencatat semua yang bisa ia catat untuk ia pelajari sendiri nanti, pikirannya sedang terfokus pada teman sebangkunya yang malah terlihat begitu fokus pada pelajaran. Yoga duduk dengan Kemal sejak resmi menjadi siswa tahun kedua di SMA, saat itu Kemal memang sengaja sebangku dengan Yoga karena ia satu-satunya orang yang Kemal kenal. Yoga memang ramah pada siapapun, sampai mungkin bisa di bilang dialah raising star kelas sepuluh saat itu, ia mengenal setiap orang dengan baik, terlebih seluruh siswa yang dulu sekelas dengannya di X-4. Kemal termasuk teman sekelasnya yang paling jarang berbaur tapi tetap menjaga hubungan yang baik dengan sekitarnya, jadi Yoga cukup nyaman mengenalnya. Dengan tahun ini, berarti mereka sudah hampir 3 tahun bersama.
        “Yoga, bisa kamu jelaskan pada saya penyelesaian soal ini?” Bu Erika menegurnya dengan suara yang cukup keras, membuat Yoga sedikit tersentak.
     Yoga bangkit dari kursinya menuju papan tulis, sebuah soal tersedia di sana. Ia memutar-mutar spidol di tangannya sambil berpikir, ia bahkan tidak bisa membaca soal apa yang ada di depan matanya ini. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba fokus, sedikit lebih lama dari yang di perkirakan semua orang memang, tapi akhirnya ia bisa menjawab soal itu dengan benar. Bu Erika mendengus menatapnya saat Yoga kembali ke bangkunya, ia jengkel karna murid yang satu ini selalu bisa mengimbangi pelajaran walaupun sejuta hal sedang ia pikirkan secara bersamaan. “Terbuat dari apa Yoga ini sebenarnya?” batin bu Erika.
     Kemal tersenyum separuh melirik Yoga begitu teman sebangkunya itu duduk kembali, Yoga menyunggingkan senyum yang sama membalasnya. Dua orang aneh dalam satu bangku, kebetulan mungkin memang tidak ada, ini takdir dan Yoga akan bertanya pada temannya ini begitu pelajaran sekolah selesai. Ini tekad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar