Yoga berlari sepanjang koridor sekolah
untuk mengejar jam pelajaran ketiga yang sudah sekitar 10 menit berjalan. Ini pertama
kalinya ia telat lagi sejak terakhir kali saat ia masih baru masuk SMA, saat
itu Yoga memang masih masa penyesuaian diri karna SMPnya dulu hanya berjarak 5
menit dari rumah, sedangkan SMAnya butuh waktu 10 kali lipat dari saat itu. Jam
tangan yang ia kenakan hanya membuatnya semakin panik setiap melirik, ia
semakin sadar keterlambatannya kali ini sudah fatal.
KNOCK! KNOCK!
Yoga mengetuk pintu kelasnya yang sudah
tertutup, menandakan pelajaran sedang berlangsung. Hatinya sedikit berdegup
lebih cepat karna efek berlari dan rasa bersalah. Guru kimia yang akrab di
panggil Pak Ei membukakan pintu untuknya dan menyuruhnya masuk tanpa bertanya
apapun, ia hanya mengisyaratkan untuk membahas hal ini nanti. Pak Ei memang di
kenal sebagai guru yang ramah dan bisa di andalkan untuk kasus-kasus tertentu,
makanya beliau merangkap sebagai penanggung jawab murid.
Yoga menghela nafas berat saat sampai di
kursinya yang terletak di pusat kelas, posisi yang tidak terlalu mencolok tapi
stategis. Teman sebangkunya Kemal menyodorinya sebotol air mineral mini yang
masih tersegel, lalu melanjutkan fokus pada materi yang di ajarkan Pak Ei. Kelasnya
ini memang kelas yang bisa di sebut tidak biasa, segalanya hampir sempurna di
kelas ini. Bahkan, tak ada keraguan lagi kalau nantinya kelas ini akan 100%
lulus dengan nilai yang baik. Kadang, Yoga merasa ada yang kurang dari kelas
yang di juluki Super A class ini,
entah kedekatan atau hal-hal tentang masa SMA lain yang seharusnya ada di
kelas-kelas lainnya. Kelas yang ia pimpin sejak satu setengah tahun yang lalu
ini, yang memang di bentuk berdasarkan nilai dan peringkat dalam ujian kendali
mutu per-6 bulan sekali ini, memang tidak memiliki kedekatan emosional seperti
kelas-kelas pada umumnya. Mungkin di karenakan penghuni kelas yang memang kerap
berganti setiap ada perubahan di peringkat 40 besar. Kadang ia merindukan
masa-masanya di kelas 10 dulu, dimana selama setahun ia dan teman-teman
sekelasnya saling peduli dan bersenang-senang di setiap harinya di sela-sela
waktu belajar mereka. Semuanya memang berubah ketika masuk di tahun kedua SMA,
sudah menjadi aturan umum bahwa sejak kelas 11 setiap 6 bulan sekali ada ujian
dan peringat 40 besar akan di jadikan satu kelas unggulan. Tidak ada masalah
sejauh ini, karena di SMA ini seluruh pengajaran satu angkatan di sama ratakan
setiap kelasnya.
“Yoga, bisa saya bicara dengan kamu di
ruangan?” Pak Ei kembali membuyarkan pikiran Yoga yang baru saja terfokus
setelah beberapa saat menenangkan diri.
Pelajaran Kimia hari ini memakan 3 jam
pelajaran dan karena keterlambatannya, hanya 10 menit terakhir yang berhasil ia
tangkap di otaknya. Yoga bangkit dari kursinya dan bergegas menyusul Pak Ei
yang sudah lebih dulu sampai di ruangan guru pembimbing. Ini bukan pertama
kalinya Yoga masuk ke ruangan itu, karena tiap 3 bulan sekali ia datang untuk
membantu Pak Ei mengontrol perkembangan kelas. Tapi kali ini rasanya beda, ia
datang untuk membahas kesalahannya, yang berarti akan menguak sedikit tentang
masalah yang sedang ia hadapi. Yoga bimbang sesaat begitu tangannya menggenggam
gagang pintu ruangan Pak Ei, bagaimana menjelaskan soal Anis pada Pak Ei? Bagaimana
menjelaskan bahwa seorang Devrayoga menjadi lalai karna hal cinta?
“Permisi pak,” Katanya saat kakinya
mulai menapak masuk ruangan yang gagang pintunya masih ia cengkram erat itu.
“Duduk Yoga, saya mau bicara”
“Ya pak, terima kasih”
“Ada yang mau kamu ceritakan sama saya
sebelum saya bertanya?” Yoga mengalihkan pandangannya dari mata Pak Ei, dahinya
mulai berkerut-kerut bimbang.
“Saya minta maaf karena terlambat di
pelajaran bapak hari ini. Saya tidur sedikit terlalu larut tadi malam Pak”
Pak Ei menatap Yoga dengan seksama sebelum
akhirnya menghela nafas, membuat Yoga kembali menatapnya. Pak Ei mengeluarkan
tablet pc miliknya dan memainkan jemari di atasnya sesaat, kemudian ia
menunjukan sebuah video yang berdurasi 5 menit pada Yoga.
Dalam video itu ada sosok Yoga yang
berjalan menuju podium untuk berpidato mewakili seluruh murid di angkatannya
saat upacara penerimaan murid baru dua setengah tahun yang lalu, wajahnya masih
berseri-seri saat itu, menampakan rasa bangga dan bahagia yang bertaut jadi
satu. Lalu video tersebut menampilkan dirinya di pidato setengah tahun yang
lalu dalam acara do’a dan syukuran kenaikan kelas di angkatannya, dirinya yang
sangat berwibawa tampil elegan dan cool dalam video itu.
Pak Ei kembali menghela nafas dengan berat
sambil menaruh kembali tablet pcnya di dalam laci, lalu menatap Yoga yang
terlihat tidak mengerti. Pak Ei tersenyum separuh, lalu memberikan Yoga sebuah file holder yang berisi
laporan-laporannya selama ini, Yoga mengerutkan dahinya dengan ekstrim, ia
benar-benar bingung sekarang.
“Kamu tau kenapa saya kasih unjuk kamu
video tadi?” Kata Pak Ei sambil menatap kedalam mata Yoga, yang di tanya hanya
menggeleng.
“Saya itu bisa di bilang kagum sama
sosok kamu dulu, begitu fresh, ceria, humble
dan juga cerdas, buktinya kamu adalah peringkat pertama di ujian masuk. Dan ketika
melihat kamu pidato saat itu, saya bisa di bilang ngefans sama kamu”
“Dan jujur, setelah naik ke kelas 11
saya bisa melihat kamu itu memang sosok idola buat saya, kamu bisa memimpin
teman-teman yang belum pernah kamu kenal dekat, tapi sekaligus memimpin diri
kamu untuk bersikap di hadapan mereka. Saya merasa kok kamu itu keren sekali ya
Yog?” Pak Ei terkekeh di tengah pembicaraannya, membuat Yoga yang tadinya
bingung kini menjadi bersemu. Malu juga dirinya di kagumi sosok yang menjadi
idola sebagian besar penghuni wanita di SMA ini. ia merasa dirinya bukan
siapa-siapa di bandingkan Pak Ei dari segi apapun.
“Bapak berlebihan…”
“Lho engga, saya ini cuma mengatakan apa
adanya, lagipula saya belum selesai. Saya semakin lama melihat Yoga yang saya
kenal di kelas 10 ini menghilang secara perlahan tapi pasti, paling parahnya di
kelas 12 sekarang ini. kamu sadar ga’ sih Yog, kalau kamu itu semakin kaku
belakangan ini?”
“Maksudnya pak? Saya kaku bagaimana?”
“Yaaa, kaku macamnya kanebo kering,
gitu. Semakin serius sekali kamu itu Yog, memang sih kamu jadi semakin adorable
di kalangan wanita, tapi kok ya saya ngeliat kamu, saya yang jadi tertekan,
begitu ya?”
Yoga melongo kali ini, mendengar guru yang
biasanya hanya memberikan support dan bersikap serba formal di hadapannya ini
sekarang mengkritiknya dengan cara yang aneh.
“Sa..saya kaku Pak? Eh? Gimana itu
maksudnya? Saya kan bersikap sesuai aturan selama ini”
“Iya sih… ah, sudahlah anggap saja itu pendapat
saya pribadi, jangan di pikirkan lagi. Sekarang, saya mau tanya. Apa yang kamu
lakukan sampai membuat kamu tidur larut tadi malam?”
“Saya…” Yoga mengalihkan pandangannya
dari Pak Ei lagi, kembali pada kebimbangan. Barusan ia sebenarnya sudah
berbohong, mengatakan ia telat karna tidur terlalu larut, padahal ia tidur
sejak jam 5 sore bahkan sampai melewatkan makan malam. Pikirannya yang penuh di
yakini sebagai penyebab hibernasi dadakan ini.
Yoga menghela nafasnya berat, benar kata
orang, sekali kamu membuat sebuah kebohongan, kebohongan lain akan mengikuti. Mungkin
sebaiknya ia jujur saja pada guru muda di hadapannya ini.
“Sebenarnya, saya tidur lebih cepat
kemarin Pak, saya tidur sejak sore sepulang pendalaman materi di sekolah. Tapi entah
kenapa ketika saya bangun, saya sudah kesiangan Pak”
“Waduh, kok bisa seperti itu? Memangnya ada
yang sedang kamu pikirkan?”
Yoga menatap Pak Ei dengan bimbang, ia
harus menceritakan masalahnyakah pada guru ini atau tidak. Ini sudah minggu
kedua Anis menghilang dan jumlah surayang di tujukan padanya sudah bertambah
menjadi 10 saat ini. semuanya menjabarkan sebuah tempat yang tidak sama, Anis
seperti berjalan, tapi tidak terarah, hanya menuliskan apa yang ia lihat
mencolok saat itu.
“Pa..pacar saya menghilang pak. Saya kepikiran
dimana dia, udah dua minggu saya ga ketemu. Orang tuanya udah mau lapor polisi
segala, saya jadi semakin panik kalo masalahnya harus ke polisi. Soalnya cuma
saya yang di kabari sama dia, itupun lewat surat” Kata Yoga akhirnya, wajahnya
kembali bersemu dan tatapannya tertunduk. Ada lega yang ikut membesit saat ia
akhirnya memutuskan untuk membagi masalahnya dengan orang lain.
Keheningan merayapi ruangan setelah Yoga
mengatakan itu, dengan segan ia mengangkat pandangannya menatap Pak Ei yang
kini mengerutkan dahinya sambil tertawa putu-putus.
“Ya kamu cari aja dia ke sekolahnya Yog!
Gitu aja kok bingung sih”
“Oh, iya ya pak…” Yoga menyadari
kebodohannya, selama ini ia terus mencari ke tempat-tempat yang sering mereka
datangi ataupun tempat-tempat yang pernah Anis katakan ingin ia datangi, tapi
ia lupa sama sekali untuk mengecek ke kampus gadis yang kini semakin ia yakini
ia cintai tersebut.
Yoga melangkahkan kakinya keluar ruangan
Pak Ei setelah mendapat sedikit pencerahan tadi dan tentunya setelah
berpamitan. Ia kembali kekelasnya yang kini ternyata sudah tinggal separuh
karna sebagian muridnya migrasi ke kantin. Cukup lama ternyata ia berada di
ruangan Pak Ei tadi.
Kemal yang masih sibuk dengan ensiklopedi
tentang tubuh yang sepertinya ia pinjam dari perpustakaan, menolehkan
pandangannya ke Yoga. Memerhatikan orang yang kini sibuk mengeluarkan beberapa
lembar kertas yang sudah sedikit lecek dari tasnya dan mulai mencoret-coret
kertas dalam binder yang sudah lebih dulu di buka. Yoga begitu sibuk dengan
pikirannya, sampai-sampai tak menyadari Kemal yang kini sudah mengambil alih
beberapa surat yang berserakan itu dan membacanya.
“Yog, lo lagi nyari seseorang?” Tanya Kemal
setelah membaca 3 lembar kertas di tangannya.
“Hah? Oh? Iya” Jawab Yoga yang kini
mengobrak-abirik catatan teleponnya mencari nomer salah satu teman Anis yang di
kenalnya, ia bahkan tak menyadari bahwa Kemal sedang menanyakan masalahnya.
“Halo? Ini… ehm, ini… aduh ini siapa ya?
Eh? Eh! Tunggu jang..” Yoga menatap ponselnya setengah terkejut, panggilannya
tersambung saat dia baru saja mengingat-ingat nama si pemilik nomer dan karna
kaget ia malah jadi lupa untuk membaca kontak yang terpampang di catatan
telepon di hadapannya.
Di sadarinya Kemal yang menatapnya
lekat-lekat di sebelahnya, ia menyunggingkan sebuah seringaian aneh yang
menunjukan sebuang cengiran dan rasa risih. Kemal mengambil ponsel dari tangan
Yoga dan men-dial kembali nomer terkahir itu, lalu membaca nama kontak di buku
catatan telepon milik Yoga. Setelah beberapa saat menunggu, panggilan itu
tersambung dan Kemal mengutarakan maksud Yoga untuk menanyakan soal Anis
sekaligus meminta maaf untuk penggilan yang sebelumnya. Yoga melongo menatap
Kemal yang kini sudah melakukan panggilan pada nomer-nomer berikutnya yang
tertera di buku catatan teleponnya dengan label ‘teman Cha-chan’.
Bel berbunyi mengembalikan kesadaran Yoga,
sekaligus menghentikan kegiatan Kemal untu sementara. Kemal memberikan ponsel
kembali ke tangan Yoga dan mengubah posisi duduknya dari menghadap Yoga menjadi
lurus ke depan. Yoga yang baru saja akan bertanya tentang kejadian tadi
mengurungkan niatnya karna guru matematika kelas 12 yang terkenal kurang
toleransi telah memasuki kelas.
Pelajaran berlalu tanpa sedikitpun Yoga
memahami materinya, ia hanya mencatat semua yang bisa ia catat untuk ia
pelajari sendiri nanti, pikirannya sedang terfokus pada teman sebangkunya yang
malah terlihat begitu fokus pada pelajaran. Yoga duduk dengan Kemal sejak resmi
menjadi siswa tahun kedua di SMA, saat itu Kemal memang sengaja sebangku dengan
Yoga karena ia satu-satunya orang yang Kemal kenal. Yoga memang ramah pada
siapapun, sampai mungkin bisa di bilang dialah raising star kelas
sepuluh saat itu, ia mengenal setiap orang dengan baik, terlebih seluruh siswa
yang dulu sekelas dengannya di X-4. Kemal termasuk teman sekelasnya yang paling
jarang berbaur tapi tetap menjaga hubungan yang baik dengan sekitarnya, jadi
Yoga cukup nyaman mengenalnya. Dengan tahun ini, berarti mereka sudah hampir 3
tahun bersama.
“Yoga, bisa kamu jelaskan pada saya
penyelesaian soal ini?” Bu Erika menegurnya dengan suara yang cukup keras,
membuat Yoga sedikit tersentak.
Yoga bangkit dari kursinya menuju papan
tulis, sebuah soal tersedia di sana. Ia memutar-mutar spidol di tangannya
sambil berpikir, ia bahkan tidak bisa membaca soal apa yang ada di depan matanya
ini. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba fokus, sedikit lebih lama
dari yang di perkirakan semua orang memang, tapi akhirnya ia bisa menjawab soal
itu dengan benar. Bu Erika mendengus menatapnya saat Yoga kembali ke bangkunya,
ia jengkel karna murid yang satu ini selalu bisa mengimbangi pelajaran walaupun
sejuta hal sedang ia pikirkan secara bersamaan. “Terbuat dari apa Yoga ini
sebenarnya?” batin bu Erika.
Kemal tersenyum separuh melirik Yoga
begitu teman sebangkunya itu duduk kembali, Yoga menyunggingkan senyum yang
sama membalasnya. Dua orang aneh dalam satu bangku, kebetulan mungkin memang
tidak ada, ini takdir dan Yoga akan bertanya pada temannya ini begitu pelajaran
sekolah selesai. Ini tekad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar