“Di
tempat menarik namun tidak menyenangkan, di antara gelap aku bersinar.
Kerlap-kelpid dan bising menjagaku dari pekatnya sunyi”
Yoga membaca surat yang ia temukan
menempel di rumahnya tadi pagi itu sekali lagi, keningnya berkerut-kerut
bingung, dimanakah tempat yang dimaksud. Ini sudah surat ke 4 yang di kirimkan
Anis, pacarnya yang menghilang dari rumah sejak seminggu yang lalu. Yoga
berusaha untuk menemui Anis dan membujuknya pulang, tapi gadis yang sudah di
jadikannya kekasih selama 5 tahun itu menolak memberitahukan secara langsung
dimana dia berada. Percakapan terakhirnya dengan Anis melalui telepon adalah
dua hari sebelum Anis menghilang, saat itu tidak terdengar tanda-tanda bahwa
sepertinya Anis sedang tertekan atau memiliki masalah yang serius. Ia hanya
berkata, jika ia pergi ke tempat yang jauh, akankah Yoga mengejarnya dan Yoga
pun mengiyakannya tanpa ragu. Dua hari kemudian ayah angkat Anis memberitahunya
bahwa gadis itu menghilang dari rumah. Pada malam yang sama sepulangnya dari
rumah Anis untuk membahas hal tersebut, Yoga menemukan selembar surat tanpa
amplop tertempel di kotak suratnya, yang berisi teka-teki tentang tempat dimana
Anis berada.
Yoga kembali masuk ke kamarnya dan
berbaring di atas kasur menatap langit-langit, ada foto-foto Anis yang ia
tempel disana, menambah kerinduan dan rasa penasaran yang mulai meluap-luap di
hatinya. Di bacanya sekali lagi lembar-lembar surat tanpa amplop dan tanpa nama
itu, hanya surat pertama yang di bubuhi paraf dan nama.
Di bacanya secara berurutan surat-surat
itu, menjejalkan segala tempat yang memungkinkan yang pernah ia tahu. Otaknya
buntu, 3 hari pertama sepulang sekolah surat ini selalu menempel di pintu
rumahnya, tapi ketika sabtu-minggu kemarin seharian ia menunggu, surat ini tak
muncul. Yoga telah menginterogasi seluruh penghuni rumahnya, bahkan warga
sekitar yang mungkin melihat Anis di sekitar rumahnya seminggu ini, tapi
jawaban mereka hanya berupa maaf dan gelengan kepala.
Kalau saja yang menghilang ini bukan gadis
yang ia cintai, sudah pasti ia menyerah begitu saja di tengah jalan. Yoga bukan
orang yang suka dengan teka-teki, walaupun termasuk orang yang serius, dia tak
punya minat pada hal-hal mencari seperti ini. Buatnya, ini menguras waktu dan
pikiran, kedua hal itu adalah hal terbatas untuknya, ia punya ambisi besar yang
sedang ia kejar saat ini.
“Yog, temenin gue ke toko buku dong”
Dominique, kakaknya muncul di ambang pintu kamar yang emang sengaja ia biarkan
terbuka,Yoga melirik malas pada kakak satu-satunya itu.
“Imbalannya apa?”
“Dih, kayak sama tukang ojek aja gue!”
“Yaudah kalo ga mau… gue juga lagi
pusing ga pengen kemana-mana”
“Iya deh, nanti gue beliin lo buku atau
engga gue traktir ice cream. Ayo cepetan, gue buru-buru nih!”
“Oke sip, 5 menit”
Yoga bangkit dan mengganti pakaiannya
dengan Polo shirt hitam favoritnya, lalu mengambil kunci motor dan ransel yang
selalu setia menemaninya kemanapun ia pergi. Setelah beberapa saat meninggalkan
kamar, Yoga kembali dengan setengah berlari mengambil jaketnya yang ia gantung
di belakang pintu. Kebiasaan sejak berpacaran dengan Anis, pergi kemanapun
harus selalu pakai jaket. Anis memang sudah menjadi bagian dari dirinya sejak
Anis bergabung di grup chatting sebuah media social 5 tahun yang lalu, mereka
dekat sebelum akhirnya bertemu di acara meet and greet grup tersebut.
Setelahnya, kenyamanan yang di berikan Anis untuk Yoga membuat Yoga menempatkan
Anis sebagai pemilik hatinya, karna walaupun Anis terpaut 2 tahun di atasnya,
ia selalu bisa menempatkan diri untuk Yoga mendominasi.
Yoga mengarahkan kuda besinya ke daerah Matraman,
Dominique memilih untuk diantar ke toko buku besar berlantai tiga itu di
banding toko buku yang ada di mall-mall sekitar rumah mereka. Alasannya adalah
disana lebih lengkap, hal yang sukses membuat Yoga menggerutu sepanjang jalan.
Pikirannya sedang penuh saat ini, hal-hal di sekolah yang menjadi tanggung
jawabnya sebagai ketua murid dari kelas teladan menjejal sesak bersama masalah
menghilangnya Anis. Tapi ia tetap tidak bisa melampiaskan penatnya pada kakak tercintanya
ini, Dominique orang yang berharga bagi Yoga, sama seperti Anis.
“Beliin gue donat, gue laper” Kata Yoga
begitu melangkah memasuki gedung. Toko buku ini memang memiliki court donat di
lantai bawahnya, jadi Yoga berencana akan menunggu Dominique disana saja, karna
kebetulan minatnya pada buku sedang menguap entah kemana.
“Nih, gesek aja, nanti gue yang bayar”
Dominique menyerahkan sebuah kartu kredit pada Yoga. Yoga menolaknya dan
meminta uang tunai pada Dominique yang dengan senang hati memberikannya lalu
menghilang ke lantai berikutnya.
Yoga memesan 3 buah donat dan secangkir
cappuccino untuk menemaninya menunggu Dominique, di bukanya kembali file
pencariannya atas Anis yang disimpan di memory ponselnya. Selama seminggu ini
ia sudah mendatangi semua teman-teman Anis, dari yang memungkinkan, hingga yang
sama sekali tak mungkin menjadi tempat Anis berada sekarang. Ia bahkan tak
toleransi pada pemikiran apapun yang terbesit di otaknya, hal terkecilpun
langsung ia lakukan, karna walaupun bukan penggemar hal-hal macam detektif ini,
ia punya prinsip untuk teliti pada setiap kemungkinan.
Yoga mulai jenuh karna tak kunjung
menemukan benang merah dari petunjuk-petunjuk yang gadis itu berikan. Di lahapnya
potongan terakhir donat coklat yang tersisa di piring sajinya lalu bangkit
meninggalkan kursinya. Ia berencana menyusul Dominique dan mengajaknya pulang,
ia merasa butuh tidur saat ini.
“Dev ya?” Sapa seorang gadis manis saat
Yoga menghampiri escalator menuju lantai buku-buku pengembangan diri. Ia menoleh
dan memperhatikan dengan seksama gadis yang kini menggenggam lengan bajunya
itu.
“Iya, maaf, siapa ya?”
“Lho? Udah lupa? Aku Mella, yang waktu
itu ikut kopdarnya Shadows juga… udah lama sih ya, jadi mungkin lupa”
“Oh! Melliya? Iya lupa gue, terakhir
ketemu yang kopdar keduanya Shadow setahunan yang lalu kan?“
“Iya, haha… kemana aja, kok jarang
nongol di Shadows lagi? Eh, mau kemana nih, tadi kayaknya buru-buru”
“Iya mau ke atas nyari kakak gue, tapi
ga buru-buru kok”
“Kalo gitu, ngobrol di bangku depan yuk,
kayaknya lagi sepi sore-sore gini”
Yoga melangkahkan kaki mengikuti Mella
menuju bangku permanen yang tersedia di sepanjang sisi kiri lobby toko buku
ini, mereka duduk di pojok kanan menghadap jalan. Mella menatap yoga penuh
arti, ia sempat jatuh cinta pada cowok proporsional yang memiliki wajah mirip
Eno Netral ini, namun karna Yoga tak merespon lebih jauh, ia menyerah.
“Sibuk apa sekarang?” Tanya Yoga
“Hem? Masih persiapan kuliah,
manggung-manggung kecil juga… sama apa yaa, aktif di forum aja. Kalo kamu?”
“Oh? Lancar ya band-nya? Keren! Kapan-kapan
gue liat lo perform deh”
“Haha, iya… nanti aku kabarin kalo ada
jadwal lagi. Eh, kalo kamu ngapain?”
“Gue? Ya sibuk persiapan ujian akhir,
sama… eh! Lo bukannya di bawah gue setahun? Kok udah persiapan kuliah?”
“Iya, soalnya ngincer universitas di
luar, jadi di kejar dari sekarang deh. Sibuknyaaa, sampe ga bisa main. Untungnya
forum selalu bisa bikin seneng. Eh, kamu kenapa ga sering muncul lagiiii?”
“Gue sibuk ngurus kelas, sejak yang
kepilih dulu tuh jadi ketua murid kelas teladan, kerjaan gue jadi lebih-lebih
dari ketua osis deh, kan jadi kiblat dan penanggung jawab kelulusan anak kelas
3”
“Oh, keren banget sih kamu, jadi ngefans
deh”
“Lho, bukannya udah dari dulu lo ngefans
sama gue?”
“Ahaha, dulu sih bukan ngefans, tapi
jatuh cinta”
“Eh?!” Yoga terkejut mendengar celetukan
frontal dari gadis manis di sebelahnya ini, ia baru tahu kalau Mella pernah
punya hati padanya. Selama ini ia memang dekat pada seluruh penghuni forum,
baik yang baru maupun yang sudah berlumut seperti dia dan Anis misalnya, tapi
perhatiannya selama ini hanya tertuju pada gadis yang lebih tua 2 tahun darinya
itu.
PLING! PLING!
Yoga memeriksa ponselnya yang bergetar
karna pesan masuk, ternyata Dominique yang memintanya menyusul. Yoga pun pamit
pada Mella dan memberikan senyum sekilas sebelum melangkah kembali ke dalam
gedung. Pikirannya tiba-tiba membuat flash back tentang masa lalu, ia memang mengenal
Mella setengah tahun lebih dulu di banding Anis. Ia masih di tahun pertama di
SMP saat ikut forum chat yang bernama Shadows itu, lalu karna Mella yang aktif
dan hanya terpaut satu tahun di
bawahnya, ia merasa nyaman dan langsung nyambung dengan gadis yang saat itu
duduk di kelas enam sd. Tapi hatinya langsung terpaut pada sosok menyenangkan
yang bergabung di forum sekitar setengah tahun kemudian, sosok itu bisa menempatkan
diri sebagai teman, kakak atau bahkan sekedar seseorang yang care bagi siapapun
yang mengajaknya bicara di forum, Mella pun salah satu yang paling dekat dengan
sosok itu. Sosok yang begitu bertemu wajah langsung menjadi cinta pertama bagi
Yoga, yang saat ini membuatnya pusing setangah mati mencarinya, Canisha Rentya
Kartika.
Yoga menghampiri rak novel remaja begitu
kakinya melangkah di lantai 2, lalu mencari kakaknya di atara pengunjung. Di temukannya
Dominique yang hampir tidak terlihat di antara tumpukan buku dan tas-tas dalam
sebuah lingkaran manusia yang duduk bersila di pojok kiri lantai itu. Dominique
memanggilnya dan mengenalkannya pada 8 orang yang ada di lingkaran itu satu
persatu, mereka ternyata teman-teman yang di kenal Dominique secara tidak
sengaja karna intensitas kebetulan bertemu yang lumayan di toko buku ini,
akhirnya mereka jadi akrab dan menjadi sebuah komunitas seperti saat ini. Satu
diantara mereka yang bernama Dewa memperhatikannya dengan seksama, Yoga sampai
risih dan terus mengalihkan perhatian dari tatapan cowok tinggi dengan
perawakan cina dewasa itu.
“Yog, Lo lagi bingung sama seseorang ya?”
Kata Dewa tiba-tiba tanpa basa-basi terlebih dahulu.
Kontan seluruh lingkaran menoleh
bergantian pada Yoga dan Dewa, hening sesaat merayapi. Dewa memang di kenal
yang paling ‘lain’ di antara mereka, kadang ia suka menggumam sendiri, kadang
tatapannya kosong dan kadang terasa jiwanya sedang berjalan jauh dari tubuhnya.
Keikutsertaannya pada kelompok ini juga karna dia tidak segan-segan mengatakan
hal pribadi yang sedang di pikirkan orang-orang di sekitarnya yang kini duduk
bersamanya ini.
“Dewa!” Tegur Dominique tegas, memang
hanya dia yang berani menegur Dewa secara langsung. Belakangan ini mereka mulai
dekat.
“Eh? Maaf. Gue Cuma ngeliat wajah lo
kusut, gue pikir, mungkin lo pengen berbagi. Maaf-maaf…”
“Gapapa Dew, mungkin memang keliatan
banget di muka gue ada yang lagi kusut di pikiran gue”
“Coba aja di share, mungkin kita bisa
bantu, yaaa ga jamin juga sih, soalnya kita Cuma demennya baca komik sama
ngekhayal” Celetuk salah satu dari 3 cewek di situ selain Dominique, namanya
Tuti.
“Well, terimakasih kalo emang ada yang
mau dengerin gue. Tapi mungkin nanti-nanti… Boleh kan ya kalo nanti-nanti gue
cerita?”
Mereka semua tersenyum menjawab Yoga,
memaklumi orang baru yang tidak mungkin langsung membuka diri kepada mereka. Apalagi
Yoga terlihat begitu cool dan serius, pasti bukan tipe yang seperti mereka.
Yoga dan Dominique akhirnya pulang setelah
pamit pada teman-teman Dominique. Yoga membawa kuda besinya yang gagah dengan
setengah enggan, berkali-kali ia menghela nafas berat, membuat Dominique yang
di boncengya akhirnya bersuara juga.
“Kalo mau cerita, gue siap dengerin loh”
“Hehe, ga usah kak… gue ga apa-apa kok. Nanti
kalo mumetnya udah pake banget, gue langsung datengin elo deh”
Yoga menghempaskan tubuhnya ke kasur
begitu sampai di kamar. Di lepasnya seluruh perangkat yang ia kenakan satu
persatu tanpa meninggalkan kasur, lelah sekali rasanya. Ia bersyukur ini hari
senin, hari satu-satunya dalam seminggu yang ia kosongkan kegiatannya sepulang
sekolah. Ia memejamkan matanya setelah menyamankan posisi di atas kasur
bercover biru bintang-bintang kesayangannya. Rasa kantuk langsung memeluknya
dan membawanya menjauhi dunia nyata.
-TbC_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar