Keesokkannya aku izin tidak masuk dengan
alasan pamanku kecelakaan. Karena Rio saat ini bukan siapa-siapaku, jadinya aku
berbohong pada kantor. Sejak tadi malam, aku ingin sekali menghubungi Olivia,
tapi aku tidak tahu nomernya dan sepertinya ponsel Rio ketinggalan di
kantornya. Tadi pagi Rio sudah sadar, membuatku begitu senang saat melihat dia
memamerkan sedikit senyuman. Karena berhubung rahannya robek, dia tidak bisa
menyeriangai lebar.
Seharusnya Rio dirawat selama dua hari.
Tapi dia menolaknya. Dia lebih memilih rawat jalan saja. Sore hari aku
mengantar Rio kembali ke apartmentnya. Saat memasuki ruangan terasa nuansa
casual modern menyergap kedalam mataku. Apartmentnya cukup luas, ada satu kamar
tidur, clean kitchen dan set bar, satu kamar mandi, ruang tamu bercampur ruang
keluarga dan semuanya terlihat rapi. Aku membantunya duduk di kasur.
Kudengar Rio mengucapkan sesuatu dengan
sangat perlahan. Membuatku harus mendekatkan kupingku kewajahnya,
"Thanks jane.." Jawabnya bersama
desiran udara yang keluar dari mulutnya membuat bulu kudukku berdiri saat udara
itu sampai di telingaku. Aku tersenyum kepadanya, saat aku melihat sekilas
cicin di jari manisnya, aku teringat untuk menelpon olivia. Aku mengeluarkan
ponselku dan menyodorkan kepadanya.
"Aku bagi nomernya olivia, mau kabarin
kondisi kamu. Nanti aku yang ngomong." Kulihat Rio mengeryitkan kening,
tak lama dia menggeleng. Aku tak mengerti kenapa dia tidak mau menghubungi
olivia, padahal dia adalah tunangannya sendiri.
"Kamu ga mau hubungin oliv?"
Tanyaku kembali, dia menggeleng sekali lagi.
"Tapi siapa yang mau rawat kamu kalo
kayak gini?"
"Ga perlu..." Katanya perlahan.
Ku taruh kembali ponselku ke dalam saku celana. Dan sekarang aku mencoba
membantunya tidur.
Karena Rio tidak mau dirawat, dan tidak
ingin mengabari tunangannya akhirnya aku mengajukan diri untuk merawatnya
setiap aku pulang kerja. Itupun aku harus memaksanya, karena tadinya rio
bersikeras tidak ingin ditemani. Ini sudah hari kedua aku mengunjunginya, aku
membantu mengganti perbannya di ruang keluarga.
"Finish!" Ujarku setelah
menempelkan perban dengan plester bermotif bintang-bintang
"Kenapa ga pake plester yang biasa aja
sih?" Tanyanya sambil memegang pelipisnya.
"Haha, biar cepet sembuh"
"Apa hubungannya?"
"Ga ada sih, biar enak di liat juga
hehe" jawabku sambil menyeringai. Rio tersenyum sambil mengacak-ngacak
poniku.
"Ah berantakan nih" jawabku
sambil merapihkan rambutku.
"Bilang aja biar aku kelilatan tampan.
Haha" kini aku bergidik mendengarnya, mengingatkanku pada kejadian
memalukan yang mama buat beberapa tahun lalu.
"Ih geer kamu!" Jawabku tak ingin
memperpanjang, dan langsung membawa plastik bekas perban ke dapur.
Saat melintasi rak yang berisi buku-buku dan
ornamen-ornamen kecil. Mataku tertuju pada miniatur yang ditaruh sedemikian
apik di bagian atasnya. Membuat ku menghentikan langkah kakiku. Miniatur
N-Tower yang ku hadiahkan padanya beberapa tahun lalu. Tak kusangka dia masih
menyimpannya.
"Liatin apa sih?" Tanyanya yang
kini sudah berada di belakangku. Tak perlu kujawab dia sudah tahu objek apa
yang sedang aku lihat.
"Tempat impian yg pengen kamu
kunjungin kan?"
"Kok tau?" Tanyaku tanpa menoleh
ke belakang
"Kan kamu pernah cerita." Aku tak
menjawabnya. Video dalam otak ku mengingat saat aku menceritakan keinginanku
untuk pergi ke korea. Aku ingin pergi kesana saat musim dingin, bermain salju,
pergi ke teddy bear museum, pergi ke festival film internasional di bussan,
jalan-jalan ke everland, menikmati jeju island, dan bertemu kim bum oppa. Semua
itu aku ceritakan kepadanya, kecuali satu. Aku ingin pergi kesana bersamanya.
"Yah walaupun aku sudah pernah pergi
kesana, rasanya aku ingin pergi kesana lagi. Tapi tidak sendiri, mungkin aku
akan ajak istriku kesana."
DASHH!!
Rasanya aku seperti di tabrak bus super
cepat. Membuat seluruh tulangku remuk, aku seperti tidak kuat lagi berpijak di
bumi ini. Tiba-tiba aku membayangkan Rio akan pergi berdua kesana dengan
olivia. Mereka akan berbulan madu disana, bersenang-senang. Oh.. Betapa irinya
aku saat ini. Aku ingin pergi kesana, bersama Rio. Tapi kenyatanya tidak
memungkinkan kami untuk berangkat kesana. Bagiku, mungkin butuh waktu 15 tahun
lagi mengumpulkan uang, baru aku bisa pergi kesana. Tapi tidak untuk Rio yang
mungkin saja tahun depan, atau bahkan 3 bulan lagi menikahi olivia. Ya Tuhan,
bisakah Engkau membuat Rio mencintaiku? Seperti aku mencitainya sejak dahulu.
"Semoga saja keinginan mu
tercapai" aku merasakan air mataku membendung, aku berjalan meninggalkan
rio menuju dapur yg tadi sempat tertunda. Setelah itu aku menghambur ke kamar
mandi di sebelah dapur,untuk sekedar menguatkan hatiku kembali.
Malam ini hujan begitu deras, membuat jarak
pandang seperti tertutup kabut. Sore tadi di Rumah Sakit Riotelah melepas
jahitan yang ada di rahangnya, walaupun tubuhnya terlihat fit tapi sebenarnya
banyak luka dalam akibat pengeroyokan yang menimpanya 5 hari yang lalu. Kami
masih terdiam di dalam mobil, otakku yang memikirkan Rio, dan hatiku yang terasa
berbunga-bunga menaiki mobil impianku. Kulirik Rio dari sudut mataku, tatapan
yang biasa dia keluarkan ketika dia sedang bimbang. Entah apa yang sekarang ada
di pikirannya. Tiba-tiba aku teringat olivia, apa Rio sudah mengabarinya ya?
Apa olivia tahu selama ini aku yang merawatnya? Bagaimana perasaannya jika dia
tahu bahwa aku yang merawatnya? Begitu banyak pertanyaan yang muncul, sampai
aku menjadi benar-benar gelisah. Aku tersadar Rio yang sebetulnya adalah
tunangan olivia, kenapa jadi aku yang begitu memperhatikannya. Kalo begini
terus, aku akan mengacaukan hubungan mereka, dan terlebih lagi aku seperti
membunuh hatiku sendiri. Perjalanan pulang diwarnai oleh kemacetan, aku sudah
begitu lelah dalam perjalan ini rasanya aku ingin tidur.
Rio mengajak aku makan malam di rumah makan
padang dekat dengan apartmentnya. Hawa dingin dan cipratan air hujan yang jatuh
ke jalan aspal membasahi telapak kakiku saat aku keluar dari mobil. Aku
menyusul Rio dari belakang punggungnya, tercium wangi khas parfume yang sama.
Aku tak sadar saat rio berhenti dan aku menabrak punggungnya. Aku meminta maaf
padanya tanpa melihat wajahnya yang memperhatikanku, aku tahu dia tersenyum.
Entah ada angin apa yang berhembus membuat tangannya kini membelai rambutku,
jatungku tak berdetak dengan normal. Dia tidak tahu bahwa yang dia lakukan ini
seperti memberi signal 'kembalilah mencintaiku'. Aku memberanikan diri
menatapnya,
"Kenapa?" Tanyaku, tak mau
terlalu percaya diri, siapa tahu ada daun yang jatuh kerambutku.
"Basah" jawabnya setelah berhenti
mengusap rambutku.
Aku tak membalasnya ku tundukkan
pandanganku sambil menenangkan diri, lalu kami memesan makanan. Rio
menghabiskan makannya lebih cepat dariku. Tak ada percakapan berarti saat kami
makan, dia juga tidak menceritakan masalah yang membuat tatapannya terlihat
bimbang.
Rio mengajakku untuk kembali ke
apartmentnya. Tapi aku menolak karena aku harus kembali ke kostan. Walaupun
besok libur, banyak esai yang belum aku kerjakan.
"Aku anter ya"
"Ga usah, kamu istirahat aja. Aku bisa
naik bis"
"Pokoknya aku anterin, ayo." Rio
menarikku untuk masuk lagi ke mobil.
Dalam perjalanan rio menyalakan radio di
mobilnya. Dia sama sekali tidak berbicara sekarang. Aku juga sama bergemingnya
dengan Rio. Kutatap keluar jendela yang tersisa bulir-bulir hujan yang
menempel, membuat lampu-lampu kota yang terang menjadi bias di pandanganku.
Hanya 15 menit mobil Rio berhenti di depan kostanku. Saat Rio menekan 'stop
engine' saat itu pula aku berterimakasih dengannya dan pamit masuk kedalam
tanpa menawarkannya untuk mampir.
Kurasakan tanganku tertahan oleh tangan
yang lebih besar saat aku ingin membuka pintu mobil. Aku tersentak sesaat dan
menoleh mendapati Rio kini menatapku.
"Kenapa?" Tanyaku untuk yang
kedua kalinya
"Aku pengen ngomong sebentar sama kamu"
aku menghela nafas, mempersiapkan diriku. Mengingat beberapa minggu yang lalu
dia juga ingin berbicara denganku, dan membuat aku jatuh terkapar di rumah
sakit. Kini aku duduk berusaha setenang mungkin di hadapannya.
"Aku pengan tau perasaan kamu ke aku"
ucapnya dengan nada tenang. Tapi berdampak buruk pada jantung dan paru-paruku.
"Maksud kamu?"
"Kamu paham maksud pertanyaan ku"
aku mengatur detak jantungku, apa yang harus aku jawab. Apa rio sudah tau bahwa
aku menyimpan rasa suka dengannya? Atau dia tahu gelagat yang aku tunjukkan
padanya?
Aku terdiam tak pasti dengan perasaanku
yang bergetar bersamaan dengan Guntur yang tak berhenti menyambar. Aku tak
berani menatap matanya, tangannya masih memegang pergelangan tanganku. Ingin
aku mengatakannya, tapi tidak semudah itu mengungkapkannya, dia sudah milik
Olivia. Kenapa aku selalu dapat waktu yang salah ketika bersama Rio.
“jane, jawab pertanyaan aku” aku tetap
bergeming. Sampai kesabaran Rio habis, dia menyambar wajahku dengan tangan
kanannya, membuat wajahku yang menunduk kini bisa bebas memandangi wajahnya.
Badanku tersara tersengat listrik saat bibirnya menyentuh bibirku, aku menjauhi
tubuhku sesaat setelah ia menciumku lebih keras.
“aku tahu kamu mencintai aku, sejak kamu
kenal aku di royale club. Aku sudah tahu semuanya, semua impian dan kenangan
bersamaku yang ingin kamu buang. Kenapa? Kenapa kamu ga pernah ngomong sama aku
kalau sedalam itu perasaanmu padaku?” benar ketakutan ku tadi, rio mengetahui
semuanya. Air mataku tak terbendung lagi sampai rio selesai mengungkapkan
semuanya.
“aku bisa meninggalkan Olivia demi kamu. Aku
akan lebih memilih wanita yang sudah mencintaiku sejak lama, karena aku tahu
kamu seperti apa”
“kalau sampai kamu meninggalkan Olivia
hanya untuk aku, kamu ga jauh beda dengan Eri”
hanya kalimat itu yang bisa aku katakan padanya, kuraih tas ku yang tadi
sempat terjatuh dan meninggalkan Rio yang masih menatapku sampai aku turun dari
mobil. Bodohnya kakiku tergelincir dan aku terjatuh di aspal yang basah. Tapi
aspal ini terlalu empuk, aku meraba aspal hitam yang lembut ini. Aku rasa ini
bukan aspal, ini lebih mirip seperti kasur dengan cover yang amat lembut. aku
melihat seberkas cahaya yang begitu teran di balik hujan yang lebat.
Aku terbangun saat sinar matahari meraba
wajahku, ternyata aku Cuma mimpi. Aku berusaha mengamati dinding-dinding yang
menampakkan siluet rak buku dan TV. Aku membalikkan tubuhku dan tersentak
setengah mati mengetahui ada seseorang di sebelahku. Setelah aku dekati sosok
yang tertidur dengan lelap itu, ternyata Rio. Aku mengamati sekali lagi
sekelilingku. Loh, bukannya ini kamarnya Rio. bagaimana bisa aku tidur
dengannya? Bukannya aku sedang dalam perjalanan pulang. Astaga… apa yang sudah
Rio lakukan padaku?! Pikiranku sudah
melalangbuana, aku duduk di bawah sisi tempat tidur. Meyakinkan diriku bahwa
tidak akan terjadi apa-apa. Tapi otakku terus memutarkan video menakutkan,
bagaimana jika Rio telah menyentuhku? Bagaimana jika aku hamil? Bagaimana ini?!
Aku menunduk di atas kedua lututku. Menyesali kenapa aku bisa berada di sini,
kenapa bisa tadi malam aku tertidur di mobilnya.
“kamu udah bangun?” suara bass rio yang
parau, membuyarkan semua pikiranku. Secepat kilat aku menatapnya, dia membalas
tatapanku denga bingung.
“kamu ngapain aku?!”
“hah??” rio mengernyitkan dahinya.
“ooh… hahaha aku ngga ngapa-ngapain kamu” jawabnya terkekeh di kasur.
“bohong, kenapa kamu bawa aku kesini? Kenapa
ga bangunin aku?”
“loh, bener deh aku ngga ngapa-ngapain
kamu. Kan kamu sendiri yang ketiduran di mobil, ngeliat kamu mendengkur aku ga
tega buat bangunin kamu. Makanya aku bawa kesini, kalo ke tempat kostmu nanti
aku ditanya-tanya abis ngapain kamu.” Mendengar penjelasannya aku sedikit
yakin.
“awas ya kalo terjadi apa-apa sama aku. Kamu
harus tanggung jawab.”
“hahaha… kamu ga bakal hamil jane… nyentuh
kamu aja ngga” aku melotot kearahnya, ingin rasanya aku mencekiknya.
“siapa yang hamil??!! Aku Cuma bilang kalo
terjadi apa-apa. Bukan kalo nanti aku hamil!” Aku rasakan mukaku memanas. Aku berlari
ke kamar mandi, meninggalkan Rio yang masi terkekeh melihat ekspresiku. Kenapa jadi
aku yang malu seperti ini. Aku mencubit pipiku di hadapan cermin yang
menampakkan diriku yang sedang kacau.
“janee.. lo bego banget siih” ujarku di
hadapan cermin. Kalo di pikir-pikir, mana mungkin Rio menyentuhku, toh dia juga
tak punya perasaan apa-apa padaku. Hatinya hanya untuk calon istrinya, Olivia. Aku
membasuh wajahku dan merapikan rambutku yang sedikit kusut. Aku mendengar
ponselku berdering, tapi tak lama kudengar Rio berbicara. Aku keluar dan
mendapati Rio yang sedang berbicara lewat ponselku di sisi tempat tidur, dia
menyodorkan ponselku dari tangannya. Saat kulihat di layar teryata vita.
“halo”
“JANEE!!!” suaranya melengking membuatku
menjauhan ponselku dari kuping.
“LO ABIS NGAPAIN SAMA RIO?!”
“heh, biasa aja sih ngomongnya.” Aku menjauhi
rio saat ingin menjawab pertanyaan vita. Aku menuju balkon, yang berada di sisi
kiri tempat tidur, menjelaskan pada vita apa yang sebenarnya terjadi. Vita masih
tak percaya, tapi aku berhasil meyainkannya bahwa aku tidak apa-apa dan tidak
tersentuh oleh rio.
Saat aku menutup panggilan dari Vita, aku
mendapati Rio sedang memasak telur untuk sarapan kami. Sekali lagi dia meminta
maaf padaku atas kejadian ini. sebetulnya aku merasa lega saat mengetahui aku
tidak di sentuh olehnya. Tapi ada perasaan senang juga bisa bersama Rio semalam
sampai hari ini. aku merasakan sepertinya aku mulai mencintainya kembali. Kami sarapan
bersama ditemani siaran berita pagi di televisi ruang tamu. Usai sarapan aku
bertanya hal yang belum sempat aku tanyakan padanya.
“sebetulnya siapa yang menghajarmu?”
“emm… ada orang yang ga suka sama aku. Makanya
aku dikeroyok.”
“ya siapa? Kamu kenal?” tanyaku kembali
sebelum pintu apartment Rio di ketuk oleh seseorang. Aku membantu membukakan
pintu, sedangkan Rio membereskan piring bekas makan kami.
Saat pintu ku buka, kulihat sosok wanita
yang tak jauh berbeda tingginya denganku. Hanya dia lebih rapi di banding aku. Aku
tahu wanita ini sama kagetnya denganku, sebelum akhirnya aku menyebut namanya
setelah dia menyebut namaku.
“Oliva…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar