Minggu, 03 Februari 2013

Forever in Seoul part 4


Keesokkannya aku izin tidak masuk dengan alasan pamanku kecelakaan. Karena Rio saat ini bukan siapa-siapaku, jadinya aku berbohong pada kantor. Sejak tadi malam, aku ingin sekali menghubungi Olivia, tapi aku tidak tahu nomernya dan sepertinya ponsel Rio ketinggalan di kantornya. Tadi pagi Rio sudah sadar, membuatku begitu senang saat melihat dia memamerkan sedikit senyuman. Karena berhubung rahannya robek, dia tidak bisa menyeriangai lebar.

Seharusnya Rio dirawat selama dua hari. Tapi dia menolaknya. Dia lebih memilih rawat jalan saja. Sore hari aku mengantar Rio kembali ke apartmentnya. Saat memasuki ruangan terasa nuansa casual modern menyergap kedalam mataku. Apartmentnya cukup luas, ada satu kamar tidur, clean kitchen dan set bar, satu kamar mandi, ruang tamu bercampur ruang keluarga dan semuanya terlihat rapi. Aku membantunya duduk di kasur.

Kudengar Rio mengucapkan sesuatu dengan sangat perlahan. Membuatku harus mendekatkan kupingku kewajahnya,

"Thanks jane.." Jawabnya bersama desiran udara yang keluar dari mulutnya membuat bulu kudukku berdiri saat udara itu sampai di telingaku. Aku tersenyum kepadanya, saat aku melihat sekilas cicin di jari manisnya, aku teringat untuk menelpon olivia. Aku mengeluarkan ponselku dan menyodorkan kepadanya.

"Aku bagi nomernya olivia, mau kabarin kondisi kamu. Nanti aku yang ngomong." Kulihat Rio mengeryitkan kening, tak lama dia menggeleng. Aku tak mengerti kenapa dia tidak mau menghubungi olivia, padahal dia adalah tunangannya sendiri.

"Kamu ga mau hubungin oliv?" Tanyaku kembali, dia menggeleng sekali lagi.

"Tapi siapa yang mau rawat kamu kalo kayak gini?"

"Ga perlu..." Katanya perlahan. Ku taruh kembali ponselku ke dalam saku celana. Dan sekarang aku mencoba membantunya tidur.

Karena Rio tidak mau dirawat, dan tidak ingin mengabari tunangannya akhirnya aku mengajukan diri untuk merawatnya setiap aku pulang kerja. Itupun aku harus memaksanya, karena tadinya rio bersikeras tidak ingin ditemani. Ini sudah hari kedua aku mengunjunginya, aku membantu mengganti perbannya di ruang keluarga.

"Finish!" Ujarku setelah menempelkan perban dengan plester bermotif bintang-bintang

"Kenapa ga pake plester yang biasa aja sih?" Tanyanya sambil memegang pelipisnya.

"Haha, biar cepet sembuh"

"Apa hubungannya?"

"Ga ada sih, biar enak di liat juga hehe" jawabku sambil menyeringai. Rio tersenyum sambil mengacak-ngacak poniku.

"Ah berantakan nih" jawabku sambil merapihkan rambutku.

"Bilang aja biar aku kelilatan tampan. Haha" kini aku bergidik mendengarnya, mengingatkanku pada kejadian memalukan yang mama buat beberapa tahun lalu.

"Ih geer kamu!" Jawabku tak ingin memperpanjang, dan langsung membawa plastik bekas perban ke dapur.

Saat melintasi rak yang berisi buku-buku dan ornamen-ornamen kecil. Mataku tertuju pada miniatur yang ditaruh sedemikian apik di bagian atasnya. Membuat ku menghentikan langkah kakiku. Miniatur N-Tower yang ku hadiahkan padanya beberapa tahun lalu. Tak kusangka dia masih menyimpannya.

"Liatin apa sih?" Tanyanya yang kini sudah berada di belakangku. Tak perlu kujawab dia sudah tahu objek apa yang sedang aku lihat.

"Tempat impian yg pengen kamu kunjungin kan?"

"Kok tau?" Tanyaku tanpa menoleh ke belakang

"Kan kamu pernah cerita." Aku tak menjawabnya. Video dalam otak ku mengingat saat aku menceritakan keinginanku untuk pergi ke korea. Aku ingin pergi kesana saat musim dingin, bermain salju, pergi ke teddy bear museum, pergi ke festival film internasional di bussan, jalan-jalan ke everland, menikmati jeju island, dan bertemu kim bum oppa. Semua itu aku ceritakan kepadanya, kecuali satu. Aku ingin pergi kesana bersamanya.

"Yah walaupun aku sudah pernah pergi kesana, rasanya aku ingin pergi kesana lagi. Tapi tidak sendiri, mungkin aku akan ajak istriku kesana."

DASHH!!

Rasanya aku seperti di tabrak bus super cepat. Membuat seluruh tulangku remuk, aku seperti tidak kuat lagi berpijak di bumi ini. Tiba-tiba aku membayangkan Rio akan pergi berdua kesana dengan olivia. Mereka akan berbulan madu disana, bersenang-senang. Oh.. Betapa irinya aku saat ini. Aku ingin pergi kesana, bersama Rio. Tapi kenyatanya tidak memungkinkan kami untuk berangkat kesana. Bagiku, mungkin butuh waktu 15 tahun lagi mengumpulkan uang, baru aku bisa pergi kesana. Tapi tidak untuk Rio yang mungkin saja tahun depan, atau bahkan 3 bulan lagi menikahi olivia. Ya Tuhan, bisakah Engkau membuat Rio mencintaiku? Seperti aku mencitainya sejak dahulu.

"Semoga saja keinginan mu tercapai" aku merasakan air mataku membendung, aku berjalan meninggalkan rio menuju dapur yg tadi sempat tertunda. Setelah itu aku menghambur ke kamar mandi di sebelah dapur,untuk sekedar menguatkan hatiku kembali.



Malam ini hujan begitu deras, membuat jarak pandang seperti tertutup kabut. Sore tadi di Rumah Sakit Riotelah melepas jahitan yang ada di rahangnya, walaupun tubuhnya terlihat fit tapi sebenarnya banyak luka dalam akibat pengeroyokan yang menimpanya 5 hari yang lalu. Kami masih terdiam di dalam mobil, otakku yang memikirkan Rio, dan hatiku yang terasa berbunga-bunga menaiki mobil impianku. Kulirik Rio dari sudut mataku, tatapan yang biasa dia keluarkan ketika dia sedang bimbang. Entah apa yang sekarang ada di pikirannya. Tiba-tiba aku teringat olivia, apa Rio sudah mengabarinya ya? Apa olivia tahu selama ini aku yang merawatnya? Bagaimana perasaannya jika dia tahu bahwa aku yang merawatnya? Begitu banyak pertanyaan yang muncul, sampai aku menjadi benar-benar gelisah. Aku tersadar Rio yang sebetulnya adalah tunangan olivia, kenapa jadi aku yang begitu memperhatikannya. Kalo begini terus, aku akan mengacaukan hubungan mereka, dan terlebih lagi aku seperti membunuh hatiku sendiri. Perjalanan pulang diwarnai oleh kemacetan, aku sudah begitu lelah dalam perjalan ini rasanya aku ingin tidur.



Rio mengajak aku makan malam di rumah makan padang dekat dengan apartmentnya. Hawa dingin dan cipratan air hujan yang jatuh ke jalan aspal membasahi telapak kakiku saat aku keluar dari mobil. Aku menyusul Rio dari belakang punggungnya, tercium wangi khas parfume yang sama. Aku tak sadar saat rio berhenti dan aku menabrak punggungnya. Aku meminta maaf padanya tanpa melihat wajahnya yang memperhatikanku, aku tahu dia tersenyum. Entah ada angin apa yang berhembus membuat tangannya kini membelai rambutku, jatungku tak berdetak dengan normal. Dia tidak tahu bahwa yang dia lakukan ini seperti memberi signal 'kembalilah mencintaiku'. Aku memberanikan diri menatapnya,

"Kenapa?" Tanyaku, tak mau terlalu percaya diri, siapa tahu ada daun yang jatuh kerambutku.

"Basah" jawabnya setelah berhenti mengusap rambutku.

Aku tak membalasnya ku tundukkan pandanganku sambil menenangkan diri, lalu kami memesan makanan. Rio menghabiskan makannya lebih cepat dariku. Tak ada percakapan berarti saat kami makan, dia juga tidak menceritakan masalah yang membuat tatapannya terlihat bimbang.

Rio mengajakku untuk kembali ke apartmentnya. Tapi aku menolak karena aku harus kembali ke kostan. Walaupun besok libur, banyak esai yang belum aku kerjakan.

"Aku anter ya"

"Ga usah, kamu istirahat aja. Aku bisa naik bis"

"Pokoknya aku anterin, ayo." Rio menarikku untuk masuk lagi ke mobil.

Dalam perjalanan rio menyalakan radio di mobilnya. Dia sama sekali tidak berbicara sekarang. Aku juga sama bergemingnya dengan Rio. Kutatap keluar jendela yang tersisa bulir-bulir hujan yang menempel, membuat lampu-lampu kota yang terang menjadi bias di pandanganku. Hanya 15 menit mobil Rio berhenti di depan kostanku. Saat Rio menekan 'stop engine' saat itu pula aku berterimakasih dengannya dan pamit masuk kedalam tanpa menawarkannya untuk mampir.

Kurasakan tanganku tertahan oleh tangan yang lebih besar saat aku ingin membuka pintu mobil. Aku tersentak sesaat dan menoleh mendapati Rio kini menatapku.

"Kenapa?" Tanyaku untuk yang kedua kalinya

"Aku pengen ngomong sebentar sama kamu" aku menghela nafas, mempersiapkan diriku. Mengingat beberapa minggu yang lalu dia juga ingin berbicara denganku, dan membuat aku jatuh terkapar di rumah sakit. Kini aku duduk berusaha setenang mungkin di hadapannya.

"Aku pengan tau perasaan kamu ke aku" ucapnya dengan nada tenang. Tapi berdampak buruk pada jantung dan paru-paruku.

"Maksud kamu?"

"Kamu paham maksud pertanyaan ku" aku mengatur detak jantungku, apa yang harus aku jawab. Apa rio sudah tau bahwa aku menyimpan rasa suka dengannya? Atau dia tahu gelagat yang aku tunjukkan padanya?

Aku terdiam tak pasti dengan perasaanku yang bergetar bersamaan dengan Guntur yang tak berhenti menyambar. Aku tak berani menatap matanya, tangannya masih memegang pergelangan tanganku. Ingin aku mengatakannya, tapi tidak semudah itu mengungkapkannya, dia sudah milik Olivia. Kenapa aku selalu dapat waktu yang salah ketika bersama Rio.

“jane, jawab pertanyaan aku” aku tetap bergeming. Sampai kesabaran Rio habis, dia menyambar wajahku dengan tangan kanannya, membuat wajahku yang menunduk kini bisa bebas memandangi wajahnya. Badanku tersara tersengat listrik saat bibirnya menyentuh bibirku, aku menjauhi tubuhku sesaat setelah ia menciumku lebih keras.

“aku tahu kamu mencintai aku, sejak kamu kenal aku di royale club. Aku sudah tahu semuanya, semua impian dan kenangan bersamaku yang ingin kamu buang. Kenapa? Kenapa kamu ga pernah ngomong sama aku kalau sedalam itu perasaanmu padaku?” benar ketakutan ku tadi, rio mengetahui semuanya. Air mataku tak terbendung lagi sampai rio selesai mengungkapkan semuanya.

“aku bisa meninggalkan Olivia demi kamu. Aku akan lebih memilih wanita yang sudah mencintaiku sejak lama, karena aku tahu kamu seperti apa”

“kalau sampai kamu meninggalkan Olivia hanya untuk aku, kamu ga jauh beda dengan Eri”  hanya kalimat itu yang bisa aku katakan padanya, kuraih tas ku yang tadi sempat terjatuh dan meninggalkan Rio yang masih menatapku sampai aku turun dari mobil. Bodohnya kakiku tergelincir dan aku terjatuh di aspal yang basah. Tapi aspal ini terlalu empuk, aku meraba aspal hitam yang lembut ini. Aku rasa ini bukan aspal, ini lebih mirip seperti kasur dengan cover yang amat lembut. aku melihat seberkas cahaya yang begitu teran di balik hujan yang lebat.



Aku terbangun saat sinar matahari meraba wajahku, ternyata aku Cuma mimpi. Aku berusaha mengamati dinding-dinding yang menampakkan siluet rak buku dan TV. Aku membalikkan tubuhku dan tersentak setengah mati mengetahui ada seseorang di sebelahku. Setelah aku dekati sosok yang tertidur dengan lelap itu, ternyata Rio. Aku mengamati sekali lagi sekelilingku. Loh, bukannya ini kamarnya Rio. bagaimana bisa aku tidur dengannya? Bukannya aku sedang dalam perjalanan pulang. Astaga… apa yang sudah Rio lakukan padaku?!  Pikiranku sudah melalangbuana, aku duduk di bawah sisi tempat tidur. Meyakinkan diriku bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Tapi otakku terus memutarkan video menakutkan, bagaimana jika Rio telah menyentuhku? Bagaimana jika aku hamil? Bagaimana ini?! Aku menunduk di atas kedua lututku. Menyesali kenapa aku bisa berada di sini, kenapa bisa tadi malam aku tertidur di mobilnya.

“kamu udah bangun?” suara bass rio yang parau, membuyarkan semua pikiranku. Secepat kilat aku menatapnya, dia membalas tatapanku denga bingung.

“kamu ngapain aku?!”

“hah??” rio mengernyitkan dahinya.

“ooh… hahaha aku ngga ngapa-ngapain kamu”  jawabnya terkekeh di kasur.

“bohong, kenapa kamu bawa aku kesini? Kenapa ga bangunin aku?”

“loh, bener deh aku ngga ngapa-ngapain kamu. Kan kamu sendiri yang ketiduran di mobil, ngeliat kamu mendengkur aku ga tega buat bangunin kamu. Makanya aku bawa kesini, kalo ke tempat kostmu nanti aku ditanya-tanya abis ngapain kamu.” Mendengar penjelasannya aku sedikit yakin.

“awas ya kalo terjadi apa-apa sama aku. Kamu harus tanggung jawab.”

“hahaha… kamu ga bakal hamil jane… nyentuh kamu aja ngga” aku melotot kearahnya, ingin rasanya aku mencekiknya.

“siapa yang hamil??!! Aku Cuma bilang kalo terjadi apa-apa. Bukan kalo nanti aku hamil!” Aku rasakan mukaku memanas. Aku berlari ke kamar mandi, meninggalkan Rio yang masi terkekeh melihat ekspresiku. Kenapa jadi aku yang malu seperti ini. Aku mencubit pipiku di hadapan cermin yang menampakkan diriku yang sedang kacau.

“janee.. lo bego banget siih” ujarku di hadapan cermin. Kalo di pikir-pikir, mana mungkin Rio menyentuhku, toh dia juga tak punya perasaan apa-apa padaku. Hatinya hanya untuk calon istrinya, Olivia. Aku membasuh wajahku dan merapikan rambutku yang sedikit kusut. Aku mendengar ponselku berdering, tapi tak lama kudengar Rio berbicara. Aku keluar dan mendapati Rio yang sedang berbicara lewat ponselku di sisi tempat tidur, dia menyodorkan ponselku dari tangannya. Saat kulihat di layar teryata vita.

“halo”

“JANEE!!!” suaranya melengking membuatku menjauhan ponselku dari kuping.

“LO ABIS NGAPAIN SAMA RIO?!”

“heh, biasa aja sih ngomongnya.” Aku menjauhi rio saat ingin menjawab pertanyaan vita. Aku menuju balkon, yang berada di sisi kiri tempat tidur, menjelaskan pada vita apa yang sebenarnya terjadi. Vita masih tak percaya, tapi aku berhasil meyainkannya bahwa aku tidak apa-apa dan tidak tersentuh oleh rio.

Saat aku menutup panggilan dari Vita, aku mendapati Rio sedang memasak telur untuk sarapan kami. Sekali lagi dia meminta maaf padaku atas kejadian ini. sebetulnya aku merasa lega saat mengetahui aku tidak di sentuh olehnya. Tapi ada perasaan senang juga bisa bersama Rio semalam sampai hari ini. aku merasakan sepertinya aku mulai mencintainya kembali. Kami sarapan bersama ditemani siaran berita pagi di televisi ruang tamu. Usai sarapan aku bertanya hal yang belum sempat aku tanyakan padanya.

“sebetulnya siapa yang menghajarmu?”

“emm… ada orang yang ga suka sama aku. Makanya aku dikeroyok.”

“ya siapa? Kamu kenal?” tanyaku kembali sebelum pintu apartment Rio di ketuk oleh seseorang. Aku membantu membukakan pintu, sedangkan Rio membereskan piring bekas makan kami.

Saat pintu ku buka, kulihat sosok wanita yang tak jauh berbeda tingginya denganku. Hanya dia lebih rapi di banding aku. Aku tahu wanita ini sama kagetnya denganku, sebelum akhirnya aku menyebut namanya setelah dia menyebut namaku.

“Oliva…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar