Minggu, 17 Februari 2013

Sang Hati pt2


     Yoga berlari sepanjang koridor sekolah untuk mengejar jam pelajaran ketiga yang sudah sekitar 10 menit berjalan. Ini pertama kalinya ia telat lagi sejak terakhir kali saat ia masih baru masuk SMA, saat itu Yoga memang masih masa penyesuaian diri karna SMPnya dulu hanya berjarak 5 menit dari rumah, sedangkan SMAnya butuh waktu 10 kali lipat dari saat itu. Jam tangan yang ia kenakan hanya membuatnya semakin panik setiap melirik, ia semakin sadar keterlambatannya kali ini sudah fatal.
KNOCK! KNOCK!
     Yoga mengetuk pintu kelasnya yang sudah tertutup, menandakan pelajaran sedang berlangsung. Hatinya sedikit berdegup lebih cepat karna efek berlari dan rasa bersalah. Guru kimia yang akrab di panggil Pak Ei membukakan pintu untuknya dan menyuruhnya masuk tanpa bertanya apapun, ia hanya mengisyaratkan untuk membahas hal ini nanti. Pak Ei memang di kenal sebagai guru yang ramah dan bisa di andalkan untuk kasus-kasus tertentu, makanya beliau merangkap sebagai penanggung jawab murid.
     Yoga menghela nafas berat saat sampai di kursinya yang terletak di pusat kelas, posisi yang tidak terlalu mencolok tapi stategis. Teman sebangkunya Kemal menyodorinya sebotol air mineral mini yang masih tersegel, lalu melanjutkan fokus pada materi yang di ajarkan Pak Ei. Kelasnya ini memang kelas yang bisa di sebut tidak biasa, segalanya hampir sempurna di kelas ini. Bahkan, tak ada keraguan lagi kalau nantinya kelas ini akan 100% lulus dengan nilai yang baik. Kadang, Yoga merasa ada yang kurang dari kelas yang di juluki Super A class ini, entah kedekatan atau hal-hal tentang masa SMA lain yang seharusnya ada di kelas-kelas lainnya. Kelas yang ia pimpin sejak satu setengah tahun yang lalu ini, yang memang di bentuk berdasarkan nilai dan peringkat dalam ujian kendali mutu per-6 bulan sekali ini, memang tidak memiliki kedekatan emosional seperti kelas-kelas pada umumnya. Mungkin di karenakan penghuni kelas yang memang kerap berganti setiap ada perubahan di peringkat 40 besar. Kadang ia merindukan masa-masanya di kelas 10 dulu, dimana selama setahun ia dan teman-teman sekelasnya saling peduli dan bersenang-senang di setiap harinya di sela-sela waktu belajar mereka. Semuanya memang berubah ketika masuk di tahun kedua SMA, sudah menjadi aturan umum bahwa sejak kelas 11 setiap 6 bulan sekali ada ujian dan peringat 40 besar akan di jadikan satu kelas unggulan. Tidak ada masalah sejauh ini, karena di SMA ini seluruh pengajaran satu angkatan di sama ratakan setiap kelasnya.
        “Yoga, bisa saya bicara dengan kamu di ruangan?” Pak Ei kembali membuyarkan pikiran Yoga yang baru saja terfokus setelah beberapa saat menenangkan diri.
     Pelajaran Kimia hari ini memakan 3 jam pelajaran dan karena keterlambatannya, hanya 10 menit terakhir yang berhasil ia tangkap di otaknya. Yoga bangkit dari kursinya dan bergegas menyusul Pak Ei yang sudah lebih dulu sampai di ruangan guru pembimbing. Ini bukan pertama kalinya Yoga masuk ke ruangan itu, karena tiap 3 bulan sekali ia datang untuk membantu Pak Ei mengontrol perkembangan kelas. Tapi kali ini rasanya beda, ia datang untuk membahas kesalahannya, yang berarti akan menguak sedikit tentang masalah yang sedang ia hadapi. Yoga bimbang sesaat begitu tangannya menggenggam gagang pintu ruangan Pak Ei, bagaimana menjelaskan soal Anis pada Pak Ei? Bagaimana menjelaskan bahwa seorang Devrayoga menjadi lalai karna hal cinta?
        “Permisi pak,” Katanya saat kakinya mulai menapak masuk ruangan yang gagang pintunya masih ia cengkram erat itu.
        “Duduk Yoga, saya mau bicara”
        “Ya pak, terima kasih”
        “Ada yang mau kamu ceritakan sama saya sebelum saya bertanya?” Yoga mengalihkan pandangannya dari mata Pak Ei, dahinya mulai berkerut-kerut bimbang.
        “Saya minta maaf karena terlambat di pelajaran bapak hari ini. Saya tidur sedikit terlalu larut tadi malam Pak”
     Pak Ei menatap Yoga dengan seksama sebelum akhirnya menghela nafas, membuat Yoga kembali menatapnya. Pak Ei mengeluarkan tablet pc miliknya dan memainkan jemari di atasnya sesaat, kemudian ia menunjukan sebuah video yang berdurasi 5 menit pada Yoga.
     Dalam video itu ada sosok Yoga yang berjalan menuju podium untuk berpidato mewakili seluruh murid di angkatannya saat upacara penerimaan murid baru dua setengah tahun yang lalu, wajahnya masih berseri-seri saat itu, menampakan rasa bangga dan bahagia yang bertaut jadi satu. Lalu video tersebut menampilkan dirinya di pidato setengah tahun yang lalu dalam acara do’a dan syukuran kenaikan kelas di angkatannya, dirinya yang sangat berwibawa tampil elegan dan cool dalam video itu.
     Pak Ei kembali menghela nafas dengan berat sambil menaruh kembali tablet pcnya di dalam laci, lalu menatap Yoga yang terlihat tidak mengerti. Pak Ei tersenyum separuh, lalu memberikan Yoga sebuah file holder yang berisi laporan-laporannya selama ini, Yoga mengerutkan dahinya dengan ekstrim, ia benar-benar bingung sekarang.
        “Kamu tau kenapa saya kasih unjuk kamu video tadi?” Kata Pak Ei sambil menatap kedalam mata Yoga, yang di tanya hanya menggeleng.
        “Saya itu bisa di bilang kagum sama sosok kamu dulu, begitu fresh, ceria, humble dan juga cerdas, buktinya kamu adalah peringkat pertama di ujian masuk. Dan ketika melihat kamu pidato saat itu, saya bisa di bilang ngefans sama kamu”
        “Dan jujur, setelah naik ke kelas 11 saya bisa melihat kamu itu memang sosok idola buat saya, kamu bisa memimpin teman-teman yang belum pernah kamu kenal dekat, tapi sekaligus memimpin diri kamu untuk bersikap di hadapan mereka. Saya merasa kok kamu itu keren sekali ya Yog?” Pak Ei terkekeh di tengah pembicaraannya, membuat Yoga yang tadinya bingung kini menjadi bersemu. Malu juga dirinya di kagumi sosok yang menjadi idola sebagian besar penghuni wanita di SMA ini. ia merasa dirinya bukan siapa-siapa di bandingkan Pak Ei dari segi apapun.
        “Bapak berlebihan…”
        “Lho engga, saya ini cuma mengatakan apa adanya, lagipula saya belum selesai. Saya semakin lama melihat Yoga yang saya kenal di kelas 10 ini menghilang secara perlahan tapi pasti, paling parahnya di kelas 12 sekarang ini. kamu sadar ga’ sih Yog, kalau kamu itu semakin kaku belakangan ini?”
        “Maksudnya pak? Saya kaku bagaimana?”
        “Yaaa, kaku macamnya kanebo kering, gitu. Semakin serius sekali kamu itu Yog, memang sih kamu jadi semakin adorable di kalangan wanita, tapi kok ya saya ngeliat kamu, saya yang jadi tertekan, begitu ya?”
     Yoga melongo kali ini, mendengar guru yang biasanya hanya memberikan support dan bersikap serba formal di hadapannya ini sekarang mengkritiknya dengan cara yang aneh.
        “Sa..saya kaku Pak? Eh? Gimana itu maksudnya? Saya kan bersikap sesuai aturan selama ini”
        “Iya sih… ah, sudahlah anggap saja itu pendapat saya pribadi, jangan di pikirkan lagi. Sekarang, saya mau tanya. Apa yang kamu lakukan sampai membuat kamu tidur larut tadi malam?”
        “Saya…” Yoga mengalihkan pandangannya dari Pak Ei lagi, kembali pada kebimbangan. Barusan ia sebenarnya sudah berbohong, mengatakan ia telat karna tidur terlalu larut, padahal ia tidur sejak jam 5 sore bahkan sampai melewatkan makan malam. Pikirannya yang penuh di yakini sebagai penyebab hibernasi dadakan ini.
     Yoga menghela nafasnya berat, benar kata orang, sekali kamu membuat sebuah kebohongan, kebohongan lain akan mengikuti. Mungkin sebaiknya ia jujur saja pada guru muda di hadapannya ini.
        “Sebenarnya, saya tidur lebih cepat kemarin Pak, saya tidur sejak sore sepulang pendalaman materi di sekolah. Tapi entah kenapa ketika saya bangun, saya sudah kesiangan Pak”
        “Waduh, kok bisa seperti itu? Memangnya ada yang sedang kamu pikirkan?”
     Yoga menatap Pak Ei dengan bimbang, ia harus menceritakan masalahnyakah pada guru ini atau tidak. Ini sudah minggu kedua Anis menghilang dan jumlah surayang di tujukan padanya sudah bertambah menjadi 10 saat ini. semuanya menjabarkan sebuah tempat yang tidak sama, Anis seperti berjalan, tapi tidak terarah, hanya menuliskan apa yang ia lihat mencolok saat itu.
        “Pa..pacar saya menghilang pak. Saya kepikiran dimana dia, udah dua minggu saya ga ketemu. Orang tuanya udah mau lapor polisi segala, saya jadi semakin panik kalo masalahnya harus ke polisi. Soalnya cuma saya yang di kabari sama dia, itupun lewat surat” Kata Yoga akhirnya, wajahnya kembali bersemu dan tatapannya tertunduk. Ada lega yang ikut membesit saat ia akhirnya memutuskan untuk membagi masalahnya dengan orang lain.
     Keheningan merayapi ruangan setelah Yoga mengatakan itu, dengan segan ia mengangkat pandangannya menatap Pak Ei yang kini mengerutkan dahinya sambil tertawa putu-putus.
        “Ya kamu cari aja dia ke sekolahnya Yog! Gitu aja kok bingung sih”
        “Oh, iya ya pak…” Yoga menyadari kebodohannya, selama ini ia terus mencari ke tempat-tempat yang sering mereka datangi ataupun tempat-tempat yang pernah Anis katakan ingin ia datangi, tapi ia lupa sama sekali untuk mengecek ke kampus gadis yang kini semakin ia yakini ia cintai tersebut.
     Yoga melangkahkan kakinya keluar ruangan Pak Ei setelah mendapat sedikit pencerahan tadi dan tentunya setelah berpamitan. Ia kembali kekelasnya yang kini ternyata sudah tinggal separuh karna sebagian muridnya migrasi ke kantin. Cukup lama ternyata ia berada di ruangan Pak Ei tadi.
     Kemal yang masih sibuk dengan ensiklopedi tentang tubuh yang sepertinya ia pinjam dari perpustakaan, menolehkan pandangannya ke Yoga. Memerhatikan orang yang kini sibuk mengeluarkan beberapa lembar kertas yang sudah sedikit lecek dari tasnya dan mulai mencoret-coret kertas dalam binder yang sudah lebih dulu di buka. Yoga begitu sibuk dengan pikirannya, sampai-sampai tak menyadari Kemal yang kini sudah mengambil alih beberapa surat yang berserakan itu dan membacanya.
        “Yog, lo lagi nyari seseorang?” Tanya Kemal setelah membaca 3 lembar kertas di tangannya.
        “Hah? Oh? Iya” Jawab Yoga yang kini mengobrak-abirik catatan teleponnya mencari nomer salah satu teman Anis yang di kenalnya, ia bahkan tak menyadari bahwa Kemal sedang menanyakan masalahnya.
        “Halo? Ini… ehm, ini… aduh ini siapa ya? Eh? Eh! Tunggu jang..” Yoga menatap ponselnya setengah terkejut, panggilannya tersambung saat dia baru saja mengingat-ingat nama si pemilik nomer dan karna kaget ia malah jadi lupa untuk membaca kontak yang terpampang di catatan telepon di hadapannya.
     Di sadarinya Kemal yang menatapnya lekat-lekat di sebelahnya, ia menyunggingkan sebuah seringaian aneh yang menunjukan sebuang cengiran dan rasa risih. Kemal mengambil ponsel dari tangan Yoga dan men-dial kembali nomer terkahir itu, lalu membaca nama kontak di buku catatan telepon milik Yoga. Setelah beberapa saat menunggu, panggilan itu tersambung dan Kemal mengutarakan maksud Yoga untuk menanyakan soal Anis sekaligus meminta maaf untuk penggilan yang sebelumnya. Yoga melongo menatap Kemal yang kini sudah melakukan panggilan pada nomer-nomer berikutnya yang tertera di buku catatan teleponnya dengan label ‘teman Cha-chan’.
     Bel berbunyi mengembalikan kesadaran Yoga, sekaligus menghentikan kegiatan Kemal untu sementara. Kemal memberikan ponsel kembali ke tangan Yoga dan mengubah posisi duduknya dari menghadap Yoga menjadi lurus ke depan. Yoga yang baru saja akan bertanya tentang kejadian tadi mengurungkan niatnya karna guru matematika kelas 12 yang terkenal kurang toleransi telah memasuki kelas.

     Pelajaran berlalu tanpa sedikitpun Yoga memahami materinya, ia hanya mencatat semua yang bisa ia catat untuk ia pelajari sendiri nanti, pikirannya sedang terfokus pada teman sebangkunya yang malah terlihat begitu fokus pada pelajaran. Yoga duduk dengan Kemal sejak resmi menjadi siswa tahun kedua di SMA, saat itu Kemal memang sengaja sebangku dengan Yoga karena ia satu-satunya orang yang Kemal kenal. Yoga memang ramah pada siapapun, sampai mungkin bisa di bilang dialah raising star kelas sepuluh saat itu, ia mengenal setiap orang dengan baik, terlebih seluruh siswa yang dulu sekelas dengannya di X-4. Kemal termasuk teman sekelasnya yang paling jarang berbaur tapi tetap menjaga hubungan yang baik dengan sekitarnya, jadi Yoga cukup nyaman mengenalnya. Dengan tahun ini, berarti mereka sudah hampir 3 tahun bersama.
        “Yoga, bisa kamu jelaskan pada saya penyelesaian soal ini?” Bu Erika menegurnya dengan suara yang cukup keras, membuat Yoga sedikit tersentak.
     Yoga bangkit dari kursinya menuju papan tulis, sebuah soal tersedia di sana. Ia memutar-mutar spidol di tangannya sambil berpikir, ia bahkan tidak bisa membaca soal apa yang ada di depan matanya ini. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba fokus, sedikit lebih lama dari yang di perkirakan semua orang memang, tapi akhirnya ia bisa menjawab soal itu dengan benar. Bu Erika mendengus menatapnya saat Yoga kembali ke bangkunya, ia jengkel karna murid yang satu ini selalu bisa mengimbangi pelajaran walaupun sejuta hal sedang ia pikirkan secara bersamaan. “Terbuat dari apa Yoga ini sebenarnya?” batin bu Erika.
     Kemal tersenyum separuh melirik Yoga begitu teman sebangkunya itu duduk kembali, Yoga menyunggingkan senyum yang sama membalasnya. Dua orang aneh dalam satu bangku, kebetulan mungkin memang tidak ada, ini takdir dan Yoga akan bertanya pada temannya ini begitu pelajaran sekolah selesai. Ini tekad.

Minggu, 10 Februari 2013

intermezo from cita

hi! hello?! it's nice to know you readers! how's our story? have you read it well? we pluged in the translator from google over there. so click on it and enjoy the stories.

well, me and Mandy are going to submit some stories for a new project in here, Jakarta. so we're sorry cz we're delaying FIS 5 or the heart pt2, wish we luck readers! chat me anytime please, i;ll reply asap!
well, bye then. lv y' all readers :*

Minggu, 03 Februari 2013

Forever in Seoul part 4


Keesokkannya aku izin tidak masuk dengan alasan pamanku kecelakaan. Karena Rio saat ini bukan siapa-siapaku, jadinya aku berbohong pada kantor. Sejak tadi malam, aku ingin sekali menghubungi Olivia, tapi aku tidak tahu nomernya dan sepertinya ponsel Rio ketinggalan di kantornya. Tadi pagi Rio sudah sadar, membuatku begitu senang saat melihat dia memamerkan sedikit senyuman. Karena berhubung rahannya robek, dia tidak bisa menyeriangai lebar.

Seharusnya Rio dirawat selama dua hari. Tapi dia menolaknya. Dia lebih memilih rawat jalan saja. Sore hari aku mengantar Rio kembali ke apartmentnya. Saat memasuki ruangan terasa nuansa casual modern menyergap kedalam mataku. Apartmentnya cukup luas, ada satu kamar tidur, clean kitchen dan set bar, satu kamar mandi, ruang tamu bercampur ruang keluarga dan semuanya terlihat rapi. Aku membantunya duduk di kasur.

Kudengar Rio mengucapkan sesuatu dengan sangat perlahan. Membuatku harus mendekatkan kupingku kewajahnya,

"Thanks jane.." Jawabnya bersama desiran udara yang keluar dari mulutnya membuat bulu kudukku berdiri saat udara itu sampai di telingaku. Aku tersenyum kepadanya, saat aku melihat sekilas cicin di jari manisnya, aku teringat untuk menelpon olivia. Aku mengeluarkan ponselku dan menyodorkan kepadanya.

"Aku bagi nomernya olivia, mau kabarin kondisi kamu. Nanti aku yang ngomong." Kulihat Rio mengeryitkan kening, tak lama dia menggeleng. Aku tak mengerti kenapa dia tidak mau menghubungi olivia, padahal dia adalah tunangannya sendiri.

"Kamu ga mau hubungin oliv?" Tanyaku kembali, dia menggeleng sekali lagi.

"Tapi siapa yang mau rawat kamu kalo kayak gini?"

"Ga perlu..." Katanya perlahan. Ku taruh kembali ponselku ke dalam saku celana. Dan sekarang aku mencoba membantunya tidur.

Karena Rio tidak mau dirawat, dan tidak ingin mengabari tunangannya akhirnya aku mengajukan diri untuk merawatnya setiap aku pulang kerja. Itupun aku harus memaksanya, karena tadinya rio bersikeras tidak ingin ditemani. Ini sudah hari kedua aku mengunjunginya, aku membantu mengganti perbannya di ruang keluarga.

"Finish!" Ujarku setelah menempelkan perban dengan plester bermotif bintang-bintang

"Kenapa ga pake plester yang biasa aja sih?" Tanyanya sambil memegang pelipisnya.

"Haha, biar cepet sembuh"

"Apa hubungannya?"

"Ga ada sih, biar enak di liat juga hehe" jawabku sambil menyeringai. Rio tersenyum sambil mengacak-ngacak poniku.

"Ah berantakan nih" jawabku sambil merapihkan rambutku.

"Bilang aja biar aku kelilatan tampan. Haha" kini aku bergidik mendengarnya, mengingatkanku pada kejadian memalukan yang mama buat beberapa tahun lalu.

"Ih geer kamu!" Jawabku tak ingin memperpanjang, dan langsung membawa plastik bekas perban ke dapur.

Saat melintasi rak yang berisi buku-buku dan ornamen-ornamen kecil. Mataku tertuju pada miniatur yang ditaruh sedemikian apik di bagian atasnya. Membuat ku menghentikan langkah kakiku. Miniatur N-Tower yang ku hadiahkan padanya beberapa tahun lalu. Tak kusangka dia masih menyimpannya.

"Liatin apa sih?" Tanyanya yang kini sudah berada di belakangku. Tak perlu kujawab dia sudah tahu objek apa yang sedang aku lihat.

"Tempat impian yg pengen kamu kunjungin kan?"

"Kok tau?" Tanyaku tanpa menoleh ke belakang

"Kan kamu pernah cerita." Aku tak menjawabnya. Video dalam otak ku mengingat saat aku menceritakan keinginanku untuk pergi ke korea. Aku ingin pergi kesana saat musim dingin, bermain salju, pergi ke teddy bear museum, pergi ke festival film internasional di bussan, jalan-jalan ke everland, menikmati jeju island, dan bertemu kim bum oppa. Semua itu aku ceritakan kepadanya, kecuali satu. Aku ingin pergi kesana bersamanya.

"Yah walaupun aku sudah pernah pergi kesana, rasanya aku ingin pergi kesana lagi. Tapi tidak sendiri, mungkin aku akan ajak istriku kesana."

DASHH!!

Rasanya aku seperti di tabrak bus super cepat. Membuat seluruh tulangku remuk, aku seperti tidak kuat lagi berpijak di bumi ini. Tiba-tiba aku membayangkan Rio akan pergi berdua kesana dengan olivia. Mereka akan berbulan madu disana, bersenang-senang. Oh.. Betapa irinya aku saat ini. Aku ingin pergi kesana, bersama Rio. Tapi kenyatanya tidak memungkinkan kami untuk berangkat kesana. Bagiku, mungkin butuh waktu 15 tahun lagi mengumpulkan uang, baru aku bisa pergi kesana. Tapi tidak untuk Rio yang mungkin saja tahun depan, atau bahkan 3 bulan lagi menikahi olivia. Ya Tuhan, bisakah Engkau membuat Rio mencintaiku? Seperti aku mencitainya sejak dahulu.

"Semoga saja keinginan mu tercapai" aku merasakan air mataku membendung, aku berjalan meninggalkan rio menuju dapur yg tadi sempat tertunda. Setelah itu aku menghambur ke kamar mandi di sebelah dapur,untuk sekedar menguatkan hatiku kembali.



Malam ini hujan begitu deras, membuat jarak pandang seperti tertutup kabut. Sore tadi di Rumah Sakit Riotelah melepas jahitan yang ada di rahangnya, walaupun tubuhnya terlihat fit tapi sebenarnya banyak luka dalam akibat pengeroyokan yang menimpanya 5 hari yang lalu. Kami masih terdiam di dalam mobil, otakku yang memikirkan Rio, dan hatiku yang terasa berbunga-bunga menaiki mobil impianku. Kulirik Rio dari sudut mataku, tatapan yang biasa dia keluarkan ketika dia sedang bimbang. Entah apa yang sekarang ada di pikirannya. Tiba-tiba aku teringat olivia, apa Rio sudah mengabarinya ya? Apa olivia tahu selama ini aku yang merawatnya? Bagaimana perasaannya jika dia tahu bahwa aku yang merawatnya? Begitu banyak pertanyaan yang muncul, sampai aku menjadi benar-benar gelisah. Aku tersadar Rio yang sebetulnya adalah tunangan olivia, kenapa jadi aku yang begitu memperhatikannya. Kalo begini terus, aku akan mengacaukan hubungan mereka, dan terlebih lagi aku seperti membunuh hatiku sendiri. Perjalanan pulang diwarnai oleh kemacetan, aku sudah begitu lelah dalam perjalan ini rasanya aku ingin tidur.



Rio mengajak aku makan malam di rumah makan padang dekat dengan apartmentnya. Hawa dingin dan cipratan air hujan yang jatuh ke jalan aspal membasahi telapak kakiku saat aku keluar dari mobil. Aku menyusul Rio dari belakang punggungnya, tercium wangi khas parfume yang sama. Aku tak sadar saat rio berhenti dan aku menabrak punggungnya. Aku meminta maaf padanya tanpa melihat wajahnya yang memperhatikanku, aku tahu dia tersenyum. Entah ada angin apa yang berhembus membuat tangannya kini membelai rambutku, jatungku tak berdetak dengan normal. Dia tidak tahu bahwa yang dia lakukan ini seperti memberi signal 'kembalilah mencintaiku'. Aku memberanikan diri menatapnya,

"Kenapa?" Tanyaku, tak mau terlalu percaya diri, siapa tahu ada daun yang jatuh kerambutku.

"Basah" jawabnya setelah berhenti mengusap rambutku.

Aku tak membalasnya ku tundukkan pandanganku sambil menenangkan diri, lalu kami memesan makanan. Rio menghabiskan makannya lebih cepat dariku. Tak ada percakapan berarti saat kami makan, dia juga tidak menceritakan masalah yang membuat tatapannya terlihat bimbang.

Rio mengajakku untuk kembali ke apartmentnya. Tapi aku menolak karena aku harus kembali ke kostan. Walaupun besok libur, banyak esai yang belum aku kerjakan.

"Aku anter ya"

"Ga usah, kamu istirahat aja. Aku bisa naik bis"

"Pokoknya aku anterin, ayo." Rio menarikku untuk masuk lagi ke mobil.

Dalam perjalanan rio menyalakan radio di mobilnya. Dia sama sekali tidak berbicara sekarang. Aku juga sama bergemingnya dengan Rio. Kutatap keluar jendela yang tersisa bulir-bulir hujan yang menempel, membuat lampu-lampu kota yang terang menjadi bias di pandanganku. Hanya 15 menit mobil Rio berhenti di depan kostanku. Saat Rio menekan 'stop engine' saat itu pula aku berterimakasih dengannya dan pamit masuk kedalam tanpa menawarkannya untuk mampir.

Kurasakan tanganku tertahan oleh tangan yang lebih besar saat aku ingin membuka pintu mobil. Aku tersentak sesaat dan menoleh mendapati Rio kini menatapku.

"Kenapa?" Tanyaku untuk yang kedua kalinya

"Aku pengen ngomong sebentar sama kamu" aku menghela nafas, mempersiapkan diriku. Mengingat beberapa minggu yang lalu dia juga ingin berbicara denganku, dan membuat aku jatuh terkapar di rumah sakit. Kini aku duduk berusaha setenang mungkin di hadapannya.

"Aku pengan tau perasaan kamu ke aku" ucapnya dengan nada tenang. Tapi berdampak buruk pada jantung dan paru-paruku.

"Maksud kamu?"

"Kamu paham maksud pertanyaan ku" aku mengatur detak jantungku, apa yang harus aku jawab. Apa rio sudah tau bahwa aku menyimpan rasa suka dengannya? Atau dia tahu gelagat yang aku tunjukkan padanya?

Aku terdiam tak pasti dengan perasaanku yang bergetar bersamaan dengan Guntur yang tak berhenti menyambar. Aku tak berani menatap matanya, tangannya masih memegang pergelangan tanganku. Ingin aku mengatakannya, tapi tidak semudah itu mengungkapkannya, dia sudah milik Olivia. Kenapa aku selalu dapat waktu yang salah ketika bersama Rio.

“jane, jawab pertanyaan aku” aku tetap bergeming. Sampai kesabaran Rio habis, dia menyambar wajahku dengan tangan kanannya, membuat wajahku yang menunduk kini bisa bebas memandangi wajahnya. Badanku tersara tersengat listrik saat bibirnya menyentuh bibirku, aku menjauhi tubuhku sesaat setelah ia menciumku lebih keras.

“aku tahu kamu mencintai aku, sejak kamu kenal aku di royale club. Aku sudah tahu semuanya, semua impian dan kenangan bersamaku yang ingin kamu buang. Kenapa? Kenapa kamu ga pernah ngomong sama aku kalau sedalam itu perasaanmu padaku?” benar ketakutan ku tadi, rio mengetahui semuanya. Air mataku tak terbendung lagi sampai rio selesai mengungkapkan semuanya.

“aku bisa meninggalkan Olivia demi kamu. Aku akan lebih memilih wanita yang sudah mencintaiku sejak lama, karena aku tahu kamu seperti apa”

“kalau sampai kamu meninggalkan Olivia hanya untuk aku, kamu ga jauh beda dengan Eri”  hanya kalimat itu yang bisa aku katakan padanya, kuraih tas ku yang tadi sempat terjatuh dan meninggalkan Rio yang masih menatapku sampai aku turun dari mobil. Bodohnya kakiku tergelincir dan aku terjatuh di aspal yang basah. Tapi aspal ini terlalu empuk, aku meraba aspal hitam yang lembut ini. Aku rasa ini bukan aspal, ini lebih mirip seperti kasur dengan cover yang amat lembut. aku melihat seberkas cahaya yang begitu teran di balik hujan yang lebat.



Aku terbangun saat sinar matahari meraba wajahku, ternyata aku Cuma mimpi. Aku berusaha mengamati dinding-dinding yang menampakkan siluet rak buku dan TV. Aku membalikkan tubuhku dan tersentak setengah mati mengetahui ada seseorang di sebelahku. Setelah aku dekati sosok yang tertidur dengan lelap itu, ternyata Rio. Aku mengamati sekali lagi sekelilingku. Loh, bukannya ini kamarnya Rio. bagaimana bisa aku tidur dengannya? Bukannya aku sedang dalam perjalanan pulang. Astaga… apa yang sudah Rio lakukan padaku?!  Pikiranku sudah melalangbuana, aku duduk di bawah sisi tempat tidur. Meyakinkan diriku bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Tapi otakku terus memutarkan video menakutkan, bagaimana jika Rio telah menyentuhku? Bagaimana jika aku hamil? Bagaimana ini?! Aku menunduk di atas kedua lututku. Menyesali kenapa aku bisa berada di sini, kenapa bisa tadi malam aku tertidur di mobilnya.

“kamu udah bangun?” suara bass rio yang parau, membuyarkan semua pikiranku. Secepat kilat aku menatapnya, dia membalas tatapanku denga bingung.

“kamu ngapain aku?!”

“hah??” rio mengernyitkan dahinya.

“ooh… hahaha aku ngga ngapa-ngapain kamu”  jawabnya terkekeh di kasur.

“bohong, kenapa kamu bawa aku kesini? Kenapa ga bangunin aku?”

“loh, bener deh aku ngga ngapa-ngapain kamu. Kan kamu sendiri yang ketiduran di mobil, ngeliat kamu mendengkur aku ga tega buat bangunin kamu. Makanya aku bawa kesini, kalo ke tempat kostmu nanti aku ditanya-tanya abis ngapain kamu.” Mendengar penjelasannya aku sedikit yakin.

“awas ya kalo terjadi apa-apa sama aku. Kamu harus tanggung jawab.”

“hahaha… kamu ga bakal hamil jane… nyentuh kamu aja ngga” aku melotot kearahnya, ingin rasanya aku mencekiknya.

“siapa yang hamil??!! Aku Cuma bilang kalo terjadi apa-apa. Bukan kalo nanti aku hamil!” Aku rasakan mukaku memanas. Aku berlari ke kamar mandi, meninggalkan Rio yang masi terkekeh melihat ekspresiku. Kenapa jadi aku yang malu seperti ini. Aku mencubit pipiku di hadapan cermin yang menampakkan diriku yang sedang kacau.

“janee.. lo bego banget siih” ujarku di hadapan cermin. Kalo di pikir-pikir, mana mungkin Rio menyentuhku, toh dia juga tak punya perasaan apa-apa padaku. Hatinya hanya untuk calon istrinya, Olivia. Aku membasuh wajahku dan merapikan rambutku yang sedikit kusut. Aku mendengar ponselku berdering, tapi tak lama kudengar Rio berbicara. Aku keluar dan mendapati Rio yang sedang berbicara lewat ponselku di sisi tempat tidur, dia menyodorkan ponselku dari tangannya. Saat kulihat di layar teryata vita.

“halo”

“JANEE!!!” suaranya melengking membuatku menjauhan ponselku dari kuping.

“LO ABIS NGAPAIN SAMA RIO?!”

“heh, biasa aja sih ngomongnya.” Aku menjauhi rio saat ingin menjawab pertanyaan vita. Aku menuju balkon, yang berada di sisi kiri tempat tidur, menjelaskan pada vita apa yang sebenarnya terjadi. Vita masih tak percaya, tapi aku berhasil meyainkannya bahwa aku tidak apa-apa dan tidak tersentuh oleh rio.

Saat aku menutup panggilan dari Vita, aku mendapati Rio sedang memasak telur untuk sarapan kami. Sekali lagi dia meminta maaf padaku atas kejadian ini. sebetulnya aku merasa lega saat mengetahui aku tidak di sentuh olehnya. Tapi ada perasaan senang juga bisa bersama Rio semalam sampai hari ini. aku merasakan sepertinya aku mulai mencintainya kembali. Kami sarapan bersama ditemani siaran berita pagi di televisi ruang tamu. Usai sarapan aku bertanya hal yang belum sempat aku tanyakan padanya.

“sebetulnya siapa yang menghajarmu?”

“emm… ada orang yang ga suka sama aku. Makanya aku dikeroyok.”

“ya siapa? Kamu kenal?” tanyaku kembali sebelum pintu apartment Rio di ketuk oleh seseorang. Aku membantu membukakan pintu, sedangkan Rio membereskan piring bekas makan kami.

Saat pintu ku buka, kulihat sosok wanita yang tak jauh berbeda tingginya denganku. Hanya dia lebih rapi di banding aku. Aku tahu wanita ini sama kagetnya denganku, sebelum akhirnya aku menyebut namanya setelah dia menyebut namaku.

“Oliva…”

Sang hati


        “Di tempat menarik namun tidak menyenangkan, di antara gelap aku bersinar. Kerlap-kelpid dan bising menjagaku dari pekatnya sunyi”
     Yoga membaca surat yang ia temukan menempel di rumahnya tadi pagi itu sekali lagi, keningnya berkerut-kerut bingung, dimanakah tempat yang dimaksud. Ini sudah surat ke 4 yang di kirimkan Anis, pacarnya yang menghilang dari rumah sejak seminggu yang lalu. Yoga berusaha untuk menemui Anis dan membujuknya pulang, tapi gadis yang sudah di jadikannya kekasih selama 5 tahun itu menolak memberitahukan secara langsung dimana dia berada. Percakapan terakhirnya dengan Anis melalui telepon adalah dua hari sebelum Anis menghilang, saat itu tidak terdengar tanda-tanda bahwa sepertinya Anis sedang tertekan atau memiliki masalah yang serius. Ia hanya berkata, jika ia pergi ke tempat yang jauh, akankah Yoga mengejarnya dan Yoga pun mengiyakannya tanpa ragu. Dua hari kemudian ayah angkat Anis memberitahunya bahwa gadis itu menghilang dari rumah. Pada malam yang sama sepulangnya dari rumah Anis untuk membahas hal tersebut, Yoga menemukan selembar surat tanpa amplop tertempel di kotak suratnya, yang berisi teka-teki tentang tempat dimana Anis berada.
     Yoga kembali masuk ke kamarnya dan berbaring di atas kasur menatap langit-langit, ada foto-foto Anis yang ia tempel disana, menambah kerinduan dan rasa penasaran yang mulai meluap-luap di hatinya. Di bacanya sekali lagi lembar-lembar surat tanpa amplop dan tanpa nama itu, hanya surat pertama yang di bubuhi paraf dan nama.
     Di bacanya secara berurutan surat-surat itu, menjejalkan segala tempat yang memungkinkan yang pernah ia tahu. Otaknya buntu, 3 hari pertama sepulang sekolah surat ini selalu menempel di pintu rumahnya, tapi ketika sabtu-minggu kemarin seharian ia menunggu, surat ini tak muncul. Yoga telah menginterogasi seluruh penghuni rumahnya, bahkan warga sekitar yang mungkin melihat Anis di sekitar rumahnya seminggu ini, tapi jawaban mereka hanya berupa maaf dan gelengan kepala.
     Kalau saja yang menghilang ini bukan gadis yang ia cintai, sudah pasti ia menyerah begitu saja di tengah jalan. Yoga bukan orang yang suka dengan teka-teki, walaupun termasuk orang yang serius, dia tak punya minat pada hal-hal mencari seperti ini. Buatnya, ini menguras waktu dan pikiran, kedua hal itu adalah hal terbatas untuknya, ia punya ambisi besar yang sedang ia kejar saat ini.
        “Yog, temenin gue ke toko buku dong” Dominique, kakaknya muncul di ambang pintu kamar yang emang sengaja ia biarkan terbuka,Yoga melirik malas pada kakak satu-satunya itu.
        “Imbalannya apa?”
        “Dih, kayak sama tukang ojek aja gue!”
        “Yaudah kalo ga mau… gue juga lagi pusing ga pengen kemana-mana”
        “Iya deh, nanti gue beliin lo buku atau engga gue traktir ice cream. Ayo cepetan, gue buru-buru nih!”
        “Oke sip, 5 menit”
     Yoga bangkit dan mengganti pakaiannya dengan Polo shirt hitam favoritnya, lalu mengambil kunci motor dan ransel yang selalu setia menemaninya kemanapun ia pergi. Setelah beberapa saat meninggalkan kamar, Yoga kembali dengan setengah berlari mengambil jaketnya yang ia gantung di belakang pintu. Kebiasaan sejak berpacaran dengan Anis, pergi kemanapun harus selalu pakai jaket. Anis memang sudah menjadi bagian dari dirinya sejak Anis bergabung di grup chatting sebuah media social 5 tahun yang lalu, mereka dekat sebelum akhirnya bertemu di acara meet and greet grup tersebut. Setelahnya, kenyamanan yang di berikan Anis untuk Yoga membuat Yoga menempatkan Anis sebagai pemilik hatinya, karna walaupun Anis terpaut 2 tahun di atasnya, ia selalu bisa menempatkan diri untuk Yoga mendominasi.
     Yoga mengarahkan kuda besinya ke daerah Matraman, Dominique memilih untuk diantar ke toko buku besar berlantai tiga itu di banding toko buku yang ada di mall-mall sekitar rumah mereka. Alasannya adalah disana lebih lengkap, hal yang sukses membuat Yoga menggerutu sepanjang jalan. Pikirannya sedang penuh saat ini, hal-hal di sekolah yang menjadi tanggung jawabnya sebagai ketua murid dari kelas teladan menjejal sesak bersama masalah menghilangnya Anis. Tapi ia tetap tidak bisa melampiaskan penatnya pada kakak tercintanya ini, Dominique orang yang berharga bagi Yoga, sama seperti Anis.
        “Beliin gue donat, gue laper” Kata Yoga begitu melangkah memasuki gedung. Toko buku ini memang memiliki court donat di lantai bawahnya, jadi Yoga berencana akan menunggu Dominique disana saja, karna kebetulan minatnya pada buku sedang menguap entah kemana.
        “Nih, gesek aja, nanti gue yang bayar” Dominique menyerahkan sebuah kartu kredit pada Yoga. Yoga menolaknya dan meminta uang tunai pada Dominique yang dengan senang hati memberikannya lalu menghilang ke lantai berikutnya.
     Yoga memesan 3 buah donat dan secangkir cappuccino untuk menemaninya menunggu Dominique, di bukanya kembali file pencariannya atas Anis yang disimpan di memory ponselnya. Selama seminggu ini ia sudah mendatangi semua teman-teman Anis, dari yang memungkinkan, hingga yang sama sekali tak mungkin menjadi tempat Anis berada sekarang. Ia bahkan tak toleransi pada pemikiran apapun yang terbesit di otaknya, hal terkecilpun langsung ia lakukan, karna walaupun bukan penggemar hal-hal macam detektif ini, ia punya prinsip untuk teliti pada setiap kemungkinan.
     Yoga mulai jenuh karna tak kunjung menemukan benang merah dari petunjuk-petunjuk yang gadis itu berikan. Di lahapnya potongan terakhir donat coklat yang tersisa di piring sajinya lalu bangkit meninggalkan kursinya. Ia berencana menyusul Dominique dan mengajaknya pulang, ia merasa butuh tidur saat ini.
        “Dev ya?” Sapa seorang gadis manis saat Yoga menghampiri escalator menuju lantai buku-buku pengembangan diri. Ia menoleh dan memperhatikan dengan seksama gadis yang kini menggenggam lengan bajunya itu.
        “Iya, maaf, siapa ya?”
        “Lho? Udah lupa? Aku Mella, yang waktu itu ikut kopdarnya Shadows juga… udah lama sih ya, jadi mungkin lupa”
        “Oh! Melliya? Iya lupa gue, terakhir ketemu yang kopdar keduanya Shadow setahunan yang lalu kan?“
        “Iya, haha… kemana aja, kok jarang nongol di Shadows lagi? Eh, mau kemana nih, tadi kayaknya buru-buru”
        “Iya mau ke atas nyari kakak gue, tapi ga buru-buru kok”
        “Kalo gitu, ngobrol di bangku depan yuk, kayaknya lagi sepi sore-sore gini”
     Yoga melangkahkan kaki mengikuti Mella menuju bangku permanen yang tersedia di sepanjang sisi kiri lobby toko buku ini, mereka duduk di pojok kanan menghadap jalan. Mella menatap yoga penuh arti, ia sempat jatuh cinta pada cowok proporsional yang memiliki wajah mirip Eno Netral ini, namun karna Yoga tak merespon lebih jauh, ia menyerah.
        “Sibuk apa sekarang?” Tanya Yoga
        “Hem? Masih persiapan kuliah, manggung-manggung kecil juga… sama apa yaa, aktif di forum aja. Kalo kamu?”
        “Oh? Lancar ya band-nya? Keren! Kapan-kapan gue liat lo perform deh”
        “Haha, iya… nanti aku kabarin kalo ada jadwal lagi. Eh, kalo kamu ngapain?”
        “Gue? Ya sibuk persiapan ujian akhir, sama… eh! Lo bukannya di bawah gue setahun? Kok udah persiapan kuliah?”
        “Iya, soalnya ngincer universitas di luar, jadi di kejar dari sekarang deh. Sibuknyaaa, sampe ga bisa main. Untungnya forum selalu bisa bikin seneng. Eh, kamu kenapa ga sering muncul lagiiii?”
        “Gue sibuk ngurus kelas, sejak yang kepilih dulu tuh jadi ketua murid kelas teladan, kerjaan gue jadi lebih-lebih dari ketua osis deh, kan jadi kiblat dan penanggung jawab kelulusan anak kelas 3”
        “Oh, keren banget sih kamu, jadi ngefans deh”
        “Lho, bukannya udah dari dulu lo ngefans sama gue?”
        “Ahaha, dulu sih bukan ngefans, tapi jatuh cinta”
        “Eh?!” Yoga terkejut mendengar celetukan frontal dari gadis manis di sebelahnya ini, ia baru tahu kalau Mella pernah punya hati padanya. Selama ini ia memang dekat pada seluruh penghuni forum, baik yang baru maupun yang sudah berlumut seperti dia dan Anis misalnya, tapi perhatiannya selama ini hanya tertuju pada gadis yang lebih tua 2 tahun darinya itu.
PLING! PLING!
        Yoga memeriksa ponselnya yang bergetar karna pesan masuk, ternyata Dominique yang memintanya menyusul. Yoga pun pamit pada Mella dan memberikan senyum sekilas sebelum melangkah kembali ke dalam gedung. Pikirannya tiba-tiba membuat flash back tentang masa lalu, ia memang mengenal Mella setengah tahun lebih dulu di banding Anis. Ia masih di tahun pertama di SMP saat ikut forum chat yang bernama Shadows itu, lalu karna Mella yang aktif dan  hanya terpaut satu tahun di bawahnya, ia merasa nyaman dan langsung nyambung dengan gadis yang saat itu duduk di kelas enam sd. Tapi hatinya langsung terpaut pada sosok menyenangkan yang bergabung di forum sekitar setengah tahun kemudian, sosok itu bisa menempatkan diri sebagai teman, kakak atau bahkan sekedar seseorang yang care bagi siapapun yang mengajaknya bicara di forum, Mella pun salah satu yang paling dekat dengan sosok itu. Sosok yang begitu bertemu wajah langsung menjadi cinta pertama bagi Yoga, yang saat ini membuatnya pusing setangah mati mencarinya, Canisha Rentya Kartika.
     Yoga menghampiri rak novel remaja begitu kakinya melangkah di lantai 2, lalu mencari kakaknya di atara pengunjung. Di temukannya Dominique yang hampir tidak terlihat di antara tumpukan buku dan tas-tas dalam sebuah lingkaran manusia yang duduk bersila di pojok kiri lantai itu. Dominique memanggilnya dan mengenalkannya pada 8 orang yang ada di lingkaran itu satu persatu, mereka ternyata teman-teman yang di kenal Dominique secara tidak sengaja karna intensitas kebetulan bertemu yang lumayan di toko buku ini, akhirnya mereka jadi akrab dan menjadi sebuah komunitas seperti saat ini. Satu diantara mereka yang bernama Dewa memperhatikannya dengan seksama, Yoga sampai risih dan terus mengalihkan perhatian dari tatapan cowok tinggi dengan perawakan cina dewasa itu.
        “Yog, Lo lagi bingung sama seseorang ya?” Kata Dewa tiba-tiba tanpa basa-basi terlebih dahulu.
     Kontan seluruh lingkaran menoleh bergantian pada Yoga dan Dewa, hening sesaat merayapi. Dewa memang di kenal yang paling ‘lain’ di antara mereka, kadang ia suka menggumam sendiri, kadang tatapannya kosong dan kadang terasa jiwanya sedang berjalan jauh dari tubuhnya. Keikutsertaannya pada kelompok ini juga karna dia tidak segan-segan mengatakan hal pribadi yang sedang di pikirkan orang-orang di sekitarnya yang kini duduk bersamanya ini.
        “Dewa!” Tegur Dominique tegas, memang hanya dia yang berani menegur Dewa secara langsung. Belakangan ini mereka mulai dekat.
        “Eh? Maaf. Gue Cuma ngeliat wajah lo kusut, gue pikir, mungkin lo pengen berbagi. Maaf-maaf…”
        “Gapapa Dew, mungkin memang keliatan banget di muka gue ada yang lagi kusut di pikiran gue”
        “Coba aja di share, mungkin kita bisa bantu, yaaa ga jamin juga sih, soalnya kita Cuma demennya baca komik sama ngekhayal” Celetuk salah satu dari 3 cewek di situ selain Dominique, namanya Tuti.
        “Well, terimakasih kalo emang ada yang mau dengerin gue. Tapi mungkin nanti-nanti… Boleh kan ya kalo nanti-nanti gue cerita?”
     Mereka semua tersenyum menjawab Yoga, memaklumi orang baru yang tidak mungkin langsung membuka diri kepada mereka. Apalagi Yoga terlihat begitu cool dan serius, pasti bukan tipe yang seperti mereka.
     Yoga dan Dominique akhirnya pulang setelah pamit pada teman-teman Dominique. Yoga membawa kuda besinya yang gagah dengan setengah enggan, berkali-kali ia menghela nafas berat, membuat Dominique yang di boncengya akhirnya bersuara juga.
        “Kalo mau cerita, gue siap dengerin loh”
        “Hehe, ga usah kak… gue ga apa-apa kok. Nanti kalo mumetnya udah pake banget, gue langsung datengin elo deh”
     Yoga menghempaskan tubuhnya ke kasur begitu sampai di kamar. Di lepasnya seluruh perangkat yang ia kenakan satu persatu tanpa meninggalkan kasur, lelah sekali rasanya. Ia bersyukur ini hari senin, hari satu-satunya dalam seminggu yang ia kosongkan kegiatannya sepulang sekolah. Ia memejamkan matanya setelah menyamankan posisi di atas kasur bercover biru bintang-bintang kesayangannya. Rasa kantuk langsung memeluknya dan membawanya menjauhi dunia nyata.
-TbC_

Senin, 28 Januari 2013

Forever in Seoul part 3


Sudah dua hari aku bekerja kembali semenjak aku jatuh sakit. Rio masih tetap menelponku, tapi tetap tidak aku angkat. Aku izin untuk tidak kuliah karena hari ini aku sangat lelah, semenjak aku sudah di pindahkan menjadi seles promotor. Aku kembali ke kosan saat sore menjelang malam. Aku terkejut saat mendapatkan Eri duduk di sebelah kamarku.
“ngapain kamu disini?” aku langsung menuju pintu kamar
“ada yang mau aku omongin”
“apa lagi?”
“apa kamu udah bisa ngasih aku kesempatan lagi?”
Aku membalikkan tubuhku dan menatapnya, “ga jelas kata-kata aku waktu itu?”
“kasih aku satu jane, aku bisa memperbaiki ini semua. Sikap kamu ini membuatku merasa bersalah”
“loh?! kamu memang pantas mendapatkan perasaan itu”
“jane… please”
“ini terakhir kali aku bilang sama kamu ri. Aku udah ga punya perasaan apapun sama kamu, dan aku ga akan ngasih kamu kesempatan. Lebih baik kamu kembali ke Gita.” Jawabku tegas, kini aku melihat matanya seperti menuntutku. Dia mendorong badanku ke pintu kamarku yang belum sempat aku buka. Eri memegang kedua tanganku, dan merapatkan tubuhnya kearahku. Aku meronta hebat saat dia seperti ingin menciumku.
“Eri! Lepasiin!” permintaanku sepertinya tidak ia gubris. Dia tetap memajukan wajahnya, aku semakin berusaha untuk melepaskan cengkraman tangannya yang begitu kuat.
“Erii! Arghk!” tanganku begitu sakit. Kini jarak kami sudah sangat dekat aku memalingkan wajahku. Sekilas Aku melihat Rio di balik punggung Eri, tiba-tiba sebuah pukulan membuat Eri jatuh terkapar memegang wajahnya.
“oh, jadi lo yo?” kulihat eri bangkit kembali dengan emosi yang membara dan berusaha menghajar Rio yang kini berdiri menghalangiku. Tapi ternyata Eri terlalu lambat, rio berhasil memukulnya untuk yang kedua kali, dan lagi lagi dia jatuh terkapar. Tapi kini dengan darah yang keluar dari bibirnya.
“jangan pernah deketin apalagi nyakitin dia lagi! ”
"Jadi sekarang lo sama jane?"
"Iya, jane calon istri gue." Aku tersentak saat rio mengatakannya, jantungku berdebar tak karuan. Walaupun aku tau ini hanya gertakan rio semata.
"Oohh.. Jadi ini jane, alasan kamu ga ngasih aku kesempatan? Kamu mau nikah sama laki-laki ini?!" Kini aku terlalu takut untuk menjawab Eri.
"Gue harap lo bisa pergi dari sini" sahut rio, kulihat eri yang sudah bangkit berdiri, kini hendak menghampiriku. Tapi tangan rio memundurkan langkahnya.
"Oke, gue pergi" Eri memasang tatapan marah ke rio saat dia hendak pergi dari sini, sekarang aku yang takut jika rio kenapa-kenapa diluar sana. Rio membalikan tubuhnya dan menatapku.
“kamu ga apa-apa?” nafasku semakin memburu, sepertinya asmaku mulai kumat. Aku gemetaran mencari ventolin di tasku, rio ikut membantuku duduk dan mencari kedalam tasku. Tak lama aku menemukan benda itu sebelum nafasku habis. Aku menghirupnya dalam-dalam, beberapa menit kemudian asmaku mereda. Kini aku bisa menatap Rio dengan jelas di hadapanku bersiku.
“kamu kenapa ga ngasih aku kabar? Kamu beberapa hari yang lalu dirawat kan?”
“kok tau?” aku menerka-nerka darimana dia tahu aku dirawat.
“kenapa telepon aku ga kamu angkat?”
"Tau dari mana aku sakit?"
"Kantormu"
"Trus, tau darimana aku tinggal disini?"
"Kantormu, sekarang jawab pertanyaanku. Kenapa telpon ku ga pernah kamu angkat?" Kini aku bingung menjawab pertanyaannya. Aku mencari-cari alasan agar tidak terkesan membohonginya.
"Kan aku sakit, aku ga bisa pegang hp dulu. Eh, tau dari mana kantorku?"
“kamu kan pernah cerita, makanya waktu kamu ga ada kabar aku langsung samperin ke kantormu.Kemarin kamu udah sembuh, kenapa ga di angkat?"
"Aku sibuk, lagi presentasi" kini Rio terlihat percaya padaku. Dia duduk di sebelahku, aku meliriknya. Matanya memandang kedepan dengan kosong, tapi pikirannya tampak terlihat ada beban.
"Gimana acara pertunanganmu dengan oliv?"
“hm? lancar" sepertinya aku menanyakan hal bodoh, jawaban Rio seakan mengingatkanku pada hancurnya harapanku padanya. Ditambah dia sedang memutar-mutar cincin yang bermatakan 3 berlian, di jari manisnya. Membuat aku iri setengah mati dengan Olivia.
"Ada yang mau kamu ceritain? Bukannya aku sok tahu, tapi kayaknya kamu lagi ada masalah"
"Emangnya kelihatan jelas?" Aku mengangguk
"Haha, ternyata aku ga pandai menyimpan masalah. Boleh aku tanya sesuatu sama kamu?" Aku mengangguk sekali lagi
"Apa yang akan kamu lakukan, jika orang yang kamu cintai. Lebih memilih orang lain, dibanding kamu?" Pertanyaan Rio seperti dua pisau sekaligus menusuk hatiku. Dia menanyakan ini karena aku pernah melewatinya saat aku sakit dengan Eri. Tapi juga pertanyaannya tepat seperti apa yang aku rasakan padanya saat dia bertunangan dengan oliv.
"Jane," dia membuyarkan lamunanku.
"Merelakannya" jawabku tanpa memandangnya.
"Setelah itu?"
Kini aku mulai menatapnya, "Mencoba melupakannya"
"Kalo ga bisa?"
"Anggap saja itu kenangan manis kamu bisa bertemu dengannya" mendengar jawabanku Rio mengembangkan senyum padaku membuatku ikut tersenyum padanya. Entah kenapa hatiku kembali luluh saat aku melihat rio kembali, dan menyesal karena aku telah menyuruh vita untuk membakar foto-fotonya.
“kenapa kamu Tanya hal itu?”
“nggak apa-apa, lagi kepikiran aja sama seseorang”
“siapa? Oliv?”
“hahaha…Ada deh mau tau aja…” jawaban Rio membuatku semakin penasaran, ada apa yang dengannya? Apa dia sedang bermasalah dengan oliv?
"Trimakasih ya" ungkapku pada Rio
"Untuk?"
"Menghajar Eri" rio terbahak mendengar jawabanku
"Haha dengan senang hati.."
Kami tertawa bersama, sore ini adalah sore yang mendebarkan bagiku, mungkin juga bagi rio. Tapi aku juga sadar sepertinya agak susah saat ini untuk mulai melupakannya.

Hari ini mata kuliah pak robi ditiadakan, berhubung beliau sedang ada rapat. Anak-anak begitu girang karena bisa pulang dengan cepat. Tapi tidak denganku, aku sama sekali tidak ingin pulang cepat, entah kenapa mood ku benar-benar tidak mau di kosan. Lebih baik aku menghampiri vita yang barusan menghubungiku kalau sekarang dia berada di comik cafe.
Aku menghampiri vita yang sedang membaca salah satu komik dari beberapa tumpukan yang dia bawa ke meja.
"Hei" sapaku
“Eh?! Kok lo disini?”
"Ga boleh?"
"Ngga" jawabnya sebelum aku memesan banana split dan jus mangga pada pelayan. Aku melihat vita yang celingukkan melihat kearah belakangku, membuat aku penasaran apa yang sedang dia lihat.
"Lo liat apaan sih?!"
"Ssttt.. Diem" aku menoleh lagi untuk yang kedua kalinya, sepintas aku melihat yusuf yang sedang duduk dan membaca komik di pojokkan, jauh dari meja kami.
"Ooo.. Jadi lo kesini cuma mau ngeliatin dia? Percuma, lo liatin juga ga bakal balik lagi tuh orang, samperin giih.."
"Gila lo?! Gue tuh ga sengaja ketemu dia, udah lo diem aje. Cuma kayak gini nih gue bisa menghilangkan rasa kangen gue ke dia"
"Eh, gue kasih tau ya. Dia itu lagi nunggu cewek"
"Hah?! Yang bener lo? Siapa?" Mukanya begitu panik
"Gue! Hahaha" Sontak vita kesal dan memukulku dengan komik yang sedang dia pegang.
"Rese lo jane! Bikin jantungan aja!"
"Haha, makanya buruan samperin, dari pada lo sakit hati ngeliat dia di samperin cewe lain. Hahaha"
"Iiih jangan dong"
"Makanya samperin, atau gue nih yang samperin?!"
"Janee!!" Vita memukulku lagi, membuat aku berteriak, entah karena mendengar suaraku atau apa, vita langsung terdiam.
"Lo kenapa?haha" kini dia terlihat takut di hadapanku. Dia tidak menjawab pertanyaanku, tapi bola matanya seperti mengisyaratkan sesuatu. Aku tidak yakin dengan isyaratnya, membuat aku menoleh kebelakang dan aku terkejut saat melihat yusuf berjalan menghampiri meja kami. Pantas saja anak ini tiba-tiba menjadi batu.
"Hei, kalian disini juga?" Kulihat vita sepertinya masih mempersiapkan mental untuk berbicara dengan yusuf. Karena terlalu lama, akhirnya aku menjawabnya.
"Iya, lo dari kapan cup disini?"
"Dari tadi sih, boleh gabung?" Kini aku menatap vita yang masih diam seperti tak bernyawa.
"Emm.. Bo..leh, boleh.." Kurasakan kakiku diinjak dengan kuat, aku meringis menahannya.
"Apa kabar kalian?" Tanya yusuf yang kini duduk diantara aku dan vita.
"Baik" jawabku cepat, tapi tidak dengan vita.
"Tapi ga tau deh tuh vita, kayaknya lagi sakit. Kena serangan jantung.. Auuww!" Vita kini menginjakku lebih keras.
"Gue baik kok.." Jawabnya tanpa melihat ke yusuf.
Sesaat setelah vita menjawab ponselku berdering, membuat getaran diantara keheningan yg menyusup diantara kami. Saat ku lihat layar ponselnya ternyata Rio. Kini aku yang terkena serangan jantung melihat layar ponselku sendiri. Bergegas aku mengangkatnya sebelum menjadi panggilan tak terjawab. Suara diseberang sana terdengar parau, dan seperti kesakitan. Karena tak jelas aku meninggalkan vita dan yusuf untuk mencari tempat yang sunyi, dan kulihat vita nampak tak ingin jika aku beranjak meninggalkannya.
"Halo.. Haloo.. Rio, suara kamu ga jelas"
"Ha..lo.. Janee.. Arghh" jawabnya terdengar menahan sakit
"Rio kamu kenapa?"
"Kamu bi..sa kekantor ku sekarang?" Kini aku seperti terkena serangan panik. Takut hal yang buruk telah menimpa Rio. Aku mengiyakan , dan langsung bergegas mengambil tas. Dan berpamitan pada vita dan yusuf.
Dijalan aku tidak konsen sama sekali, lagi pula malam-malam begini sedang apa dia dikantornya? Sesaat setelah aku memarkirkan motorku, aku berlari secepat mungkin kedalam kantor. Seisi kantor ini membuatku kembali teringat pada semua kenangan yang sudah aku tinggalkan. Ternyata ingatanku masih bekerja dalam situasi seperti ini, aku membuka pintu ruangan asisten GM di lantai 2. Kudapati rio terkapar disamping meja kerjanya yg tak lagi rapi. Ku lihat sekeliling kantornya berantakan. Aku menghampirinya, dan jantungku tercekat saat melihat wajahnya yang hampir semuanya berlumuran darah, lengan kemejanya sobek, darah segar menetes di bibirnya. Reflek aku teriak minta tolong, tapi sepertinya aku bodoh jika terus teriak di tempat sepi seperti ini. Akhirnya aku menelpon ruangan security yang tertera di meja kerja Rio dan setelah itu menelpon ambulance.
 Hanya dalam 15 menit ambulance tiba, dan para security membopong Rio yang terkapar lemas tak berdaya itu memasuki ambulance. Tak sadar air mataku mengalir dan sepertinya tak bisa berhenti sampai Rio sadar. Aku tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi dengannya, tapi tampaknya ini seperti pengeroyokan. Siapa yang mempunyai masalah dengan Rio, karena begitu banyak rekan-rekannya dan tak bisa kukenali satu persatu.
Sudah hampir 1 jam semenjak rio masuk IGD. Aku menunggu di pintu keluar ruang perawatan. Duduk dan tidak bisa mendiamkan kakiku yang sejak aku duduk bergetar, aku sudah menelpon Vita, agar ia bisa menemaniku disini. Ku lihat dokter keluar dari ruangan,
"Gimana dok?"
"Syukurlah, sebentar lagi pulih. Ada 2 jahitan di wajahnya bagian rahang dan dekat dengan pelipis. Untungnya tidak terlalu dalam, karena itu bisa berakibat fatal."
Seketika aku menarik nafas lega, tapi belum bisa tenang. Tak lama vita datang dengan yusuf, menghampiriku. Aku menghambur ke pelukan vita dan kuceritakan semua yang barusan menimpa Rio.